Pitutur leluhur Jawa ditengah globalisasi dan modernisasi bergerak sangat dinamis dan fleksibel. Faktanya, sampai kapanpun pitutur luhur budaya Jawa telah menjaga martabat dan kehormatan bangsa dengan segala nilai kearifan lokalnya.
Bahkan filosofi Jawa mampu bertahan ditengah derasnya arus informasi yang tidak terbendung yang menyebabkan distorsi nilai. Terkesan kuno, ndeso dan ketinggalan zaman. Anggapan itu kurang tepat, justru filosofi Jawa dapat dipergunakan dalam zaman apapun.
Nilai luhurnya telah mengajarkan makna hidup yang sesungguhnya untuk membentengi diri dari sifat hedonis, materialistis, sekulerisme, dan pragmatis. Meski tidak dimengerti secara langsung, ternyata filosofi Jawa ini telah dilakukan dan bermanfaat untuk kehidupan umat manusia :
Agama ageming aji
Sebuah kata leksikal yang merepresentasikan keadaan manusia hidup dan setelah hidup. Dengan agama, manusia akan mendapatkan kemuliaannya karena agama adalah pakaian bagi orang-orang mulia. Menghadapi tantangan yang ada saat ini, nilai-nilai agama sangat diperlukan untuk membentengi diri.
Sangkan Paraning Dumadi
Sangkan paraning dumadi adalah kembali pada diri sejati atau rumah sejati. Ini tingkat kedalaman bathin yang murni, yang bebas dari konflik dan prasangka. Sang asal sebelum jagad gumelar, sebelum bumi dan seisinya kita kenali sebagaimana sekarang pada umumnya.
Jagad gumelar dalam hal ini adalah pikiran duniawi yang memiliki ciri dualitas. Karena ada dualitas maka ada positif dan negatif, ada hitam dan putih. Inilah dunia (jagad) yang kita kenali. Dan selanjutnya positif negatif itu menjadi reaksi suka dan tidak suka. Inilah kecenderungan duniawi yang dirasakan manusia.
Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Diri Saka Busana
Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Diri Saka Busana diartikan bahwa kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya) dan harga diri seseorang tergantung ucapannya.
Bahkan seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dalam bertindak, melihat situasi, memiliki kebijaksanaan dan mampu menempatkan perangai serta ucapannya. Dari ucapan dan caranya bertindak.
Memayu Hayuning Bawana Ambrasto Dur Angkara
Filosofi ini dipahami sebagai konsep metafisika hubungan manusia dan alam semesta, manusia dengan manusia, hubungan manusia dan Tuhan dalam kehidupan ini. Puncak tertinggi dari filosofi ini adalah tata, titi, tentrem.
Tata bermakna keteraturan kosmos, Titi berarti suasana tertata dalam diam bermakna, tentrem berarti suasana tentram tak ada gangguan. Memayu Hayuning Bawana atau membangun dan menghiasi keindahan dunia merupakan cara untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Manusia hidup dengan alam semesta, menjaga segala bentuk penciptaan-Nya adalah keharusan. Apalagi dizaman globalisasi seperti sekarang, kerusakan ozon dan lingkungan murka.