Lihat ke Halaman Asli

SRI PATMI

Dari Bumi ke Langit

Rahasia Kematian Arlis Perry dan Penemuan Test DNA yang Mengubah Dunia

Diperbarui: 16 Januari 2022   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gambar : Paloaltoonline.com

Kasus pembunuhan Arlis Perry baru terungkap setelah 44 tahun kemudian karena penemuan dibidang medis yang mengubah dunia. Tidak seperti saat ini, test forensik pada saat itu belum secanggih sekarang.

Pada tanggal 12 Oktober 1974 merupakan hari yang kelam bagi suami Arlis Perry yaitu Bruce Perry. Pasalnya, malam sebelum kejadian pembunuhan itu terjadi, pasangan suami istri ini bertengkar hebat. Hingga akhirnya Arlis memutuskan untuk menenangkan diri di Stanford Memorial Church, di halaman Universitas Stanford di California. Nahas, hingga tengah malam Arlis tidak kembali dan keesokan paginya, Arlis ditemukan sudah meninggal dunia didalam gereja tanpa busana dengan posisi kaki dan tangan yang menyilang.


Profil Arlis Perry dan Kejadian

Arlis Perry memiliki nama asli Arlis Dey Dykema dan lahir pada tanggal 22 Februari 1955 di Linton Dakota Utara. Arlis adalah anak bungsu dari 3 bersaudara dari pasangan Marvin Dykema dan Marry Dykema. Diketahui Arlis Perry adalah sosok yang taat dan Jemaah gereja yang baik. Keluarga Arlis menggambarkan Arlis adalah sosok yang berprestasi, penyayang, aktif dibidang olahraga di Bismark. Di SMA inilah pertemuan Arlis dengan sang suami. Bruce yang berprestasi di sekolah, akhirnya diterima di Stanford University. Pada Bulan Mei 1974, Bruce meminta Arlis untuk menikah dengannya dan akhirnya mereka menikah 17 Agustus 1974. Setelah itu, mereka tinggal di Quillen Hall Escondido Village yaitu kompleks apartemen khusus mahasiswa. Arlis menjadi ibu rumah tangga dan sering mengunjungi Stanford Memorial Church. Selama tinggal di Quillen, Arlis merasakan shock culture dan kesepian. Kebosanan tersebut tidak berlangsung lama, karena ia diterima menjadi resepsionis di Firma Hukum.

Pada tanggal 12 Oktober 1974, Stanford University mengadakan acara untuk beberapa fakultas. Saat ingin mengirimkan surat, pasangan suami istri ini terlibat cekcok dan pertengkaran hebat. Hingga Arlis meminta waktu dan ruang untuk bisa berdoa di gereja. Ditunggu hingga tengah malam, Arlis tidak pulang juga. Bruce melaporkan kejadian ini ke kepolisian setempat. Ia sangat khawatir jika Arlis ketiduran didalam gereja. Setelah dilakukan pengecekan kedalam gereja posisinya sudah terkunci dan tidak ada orang. Pagi hari, pukul 05:40 Stephen Crawford, seorang security gereja melaporkan kepada polisi telah menemukan jasad Arlis didalam gereja.

Penyidikan dilakukan dan ditemukan beberapa bukti sidik jari pada lilin gereja. Kesaksian dilakukan kepada seluruh orang yang ditengarai menjadi tersangka. Security Stanford, Stephen Crawford menyampaikan keterangan jika pukul 02:00 ketika ia berpatroli dan melakukan pengecekan tidak ada sesuatu yang aneh didalam gereja.

Polisi yang menerima laporan dari security segera memberikan kabar kepada suami Arlis, Bruce di apartemennya. Saat ditemui, Bruce sedang berlumuran darah. Disana Bruce menjelaskan jika darah tersebut adalah darahnya yang sedang mimisan karena stress kronis. Kecurigaan mengarah pada Bruce suaminya, apalagi malam sebelum kejadian pembunuhan tersebut, mereka sempat cekcok. Ketika dicek sidik jari dan poligraf, tidak terbukti bahwa Bruce yang membunuh Arlis. Para pendeta meyakini jika kejadian tersebut merupakan ritual satanik. Saat berjalan ke gereja pada malam kejadian pembunuhan tersebut, Bruce mengaku sempat melihat seorang pria berambut pirang disekitar gereja. Setelah dilakukan penyelidikan kepada setiap orang yang diduga tersebut, kebuntuan terjadi. Kasus ini masih terus diusut dan digali dengan menemukan berbagai bukti.

Sampai akhirnya disaat teknologi sudah canggih pada tahun 2016, polisi menemukan profil DNA seorang pria di saku celana jeans yang digunakan Arlis pada malam kejadian. Pada tahun 2018, penyidik kembali mewawancarai semua orang yang berada disekitar gereja pada malam itu dan mengambil sampel DNA masing-masing. Namun, hasil test DNA terhadap semua pelaku tidak cocok. Hingga tersisa satu orang yang harus diambil sample DNA nya yaitu Stephen Crawford, sang security yang berjaga saat malam itu. Tahun 2018, Stephen sudah berusia 72 tahun. Setelah diperiksa secara mendalam, diketahui fakta jika Stephen adalah seoran veteran Angkatan Udara AS yang bekerja di Departemen Kepolisian dan dipaksa keluar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjadi security Stanford University.

Pada tanggal 28 Juni 2018, polisi mendatangi kediaman Stephen. Setelah dicek kedalam ternyata Stephen sudah dalam posisi duduk diatas tempat tidur dengan memegang pistol mengarah kedirinya. Beberapa saat kemudian, Stephen memutuskan untuk bunuh diri. Sayang sekali... ketika DNA sudah membuktikan Stephen sebagai tersangka, ia malah memutuskan untuk bunuh diri.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline