Lihat ke Halaman Asli

SRI PATMI

Dari Bumi ke Langit

Cerpen: Serambi dan Jeruji

Diperbarui: 30 Desember 2021   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gambar : id.theasiaparents.com

Setelah kemarau berkepanjangan, rintik hujan membasahi bumi. Aroma khas tanah yang diguyur buih air dari sang awan menjadi penantian para petrichor. Seolah menjadi isyarat bangkitnya jiwa lama yang telah mati. Menstimulus dorongan batin agar menjadi sosok diri yang menjelma dalam diri. Aku yang dulu redup seakan hidup, meski luka debam selalu bersemayam. 

Siluet itu kembali menghampiri diri, seakan menarik tubuh dalam medan magnet suatu energi. Tidak satu frekuensi tapi saling tarik menarik, dan juga tidak tolak menolak. Aku hanya menjadi saksi bisu terhadap diriku sendiri. Saat hati mulai kukunci dan ia yang tak tahu diri, menyelinap masuk kedalam serambi diri.

Hujan mulai reda, segera kuraih bohlam lampu yang telah dilubangi bagian bawahnya. Kuberjalan tanpa beban, terasa bebas meski tubuh kebas. Menyusuri jalan setapak diantara hamparan kebun teh dipinggiran Kota Bogor. Mengumpulkan himpunan rabas yang hampir jatuh pada setiap daun. 

Ada rindu yang saling beradu, menanti temu meski terkadang semu. Bohlam bekas ini bagai bejana yang siap menampung ribuan tangis dari sang langit. Menyampaikan makna laten dari pesan yang tersirat, menyuarakan lara agar lebih tersurat.

Ditengah kebun, terdapat gubuk reyot yang mulai lapuk bersikukuh melawan waktu. Ditempat inilah, aku meletakkan catatan sekaligus pena bulu ayam favoritku. Kata demi kata terangkai menjadi sebuah cerita. 

Sajak dialektika asyik mengurai kisah yang tak kasat mata. Retorika hati mulai terbaca, bukan titik, tetapi hanya koma saja. Refleksi bayanganmu muncul dalam buih air yang terkungkung dalam bohlam.

Malam ini, aku rampungkan balada yang tak berujung. Pertemuanku dengannya terjadi diawal waktu subuh. Ia menyapaku dengan salam hangat bak mentari yang menyinari dunia. Kujawab salam dari bibir manisnya, tertunduk malu, kemudian pergi berlalu. Pesonanya membuat mentari tersipu malu. Hingga ia berlalu, senyumnya terus merekah dalam sanubari. Sayup terdengar suara iqomah di serambi masjid, tempatku berdiri sembari memandanginya.

Usai solat subuh, kulihat karisma wajahnya yang terpancar seperti rembulan pada tanggal 15. Muncul tanya yang tak ingin kutanyakan,

 "siapa namanya? Siapa sesungguhnya dia? Mungkinkah sosok lain dari yang lain?". 

Dialog antara pikiran dan hati yang terjerembab dalam perspektif diri. Rasa penasaran mulai menyelimuti diri. Aku harus memasuki dimensi waktu masa lalu, sekarang, esok, lusa, tulat, tubin dan selamanya. Menanti pertemuan-pertemuan kami selanjutnya disudut serambi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline