Lihat ke Halaman Asli

Polisi kok Berseragam Loreng?

Diperbarui: 4 April 2017   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Saya terkejut ketika melihat berita di Televisi bahwa di ulang tahun Brimob ke-69 tahun 2014, disyahkan kembalinya Pakaian Dinas Lapangan bermotif loreng, dan menurut Kapolri saat ini, bahwa pemakaian seragam loreng sangat diperlukan untuk operasi khusus yang memerlukan mobilitas tinggi. Juga diperlukan untuk kamuflase di daerah tertentu. Dengan pertimbangan evaluasi ketika Brimob menghadapi berbagai konflik di daerah rawan di wilayah  NKRI.

Lantas apa hubungannya seragam loreng dengan  judul tulisan diatas? Dalam Sejarahnya memang Brimob dibentuk oleh Jepang yang bernama polisi istimewa untuk mengahadapi gangguan Kamtibmas dan Kamdagri berskala tinggi. Polisi  istimewa juga dipergunakan dan dipersiapkan jika sewaktu-waktu menghadapi tentara sekutu yang hemdak mendarat di bekas wilayah Hindia Belanda. Maka pada hakekatnya Polisi Istimewa adalah kekuatan sipil yang menyerupai militer atau para militer dengan mentalitas dan kultur serupa dengan militer. Dalam kiprahnya di awal pecah perang kemerdekaan, polisi istimewa diakui sebagai satu-satunya unsur kekuatan perjuangan yang telah memiliki stuktur organisasi yang matang dan berloyalitas tinggi, dibanding BKR yang baru terbentuk. Dan tentang seragam loreng, meskipun tidak ada data sejarah yang valid, polisi ini telah memiliki seragam tersendiri sebagai uniform mereka. Di tahun-tahun berikutnya ketika TNI telah memiliki seragam Lapangan standar warna hijau TNI,  seragam Loreng Brimob terkadang  tampil yang menyerupai seragam Marinir Belanda masa Perang Dunia II, tetapi hanya digunakan untuk acara-acara seperti HUT Polisi dan lain-lain. Baru pada era tahun 1984, TNI/ABRI memberlakukan ketentuan untuk mempersamakan motif seragam lapangan di satuan-satuan TNI/ABRI, maka praktis motif seragam lapangan di satuan-satuan tertentu TNI dinyatakan tidak berlaku. Sebagai gantinya diwajibkan memakai seragam loreng standar TNI/ABRI yaitu yang seperti kita lihat sampai saat ini, meniru motif seragam tentara Inggris.  Untuk Polri tidak diperbolehkan memakai seragam loreng ala tentara karena dengan pertimbangan logis bahwa polisi bukan kekuatan perang dan sebagai penegak hukum dan penjaga kamtibmas. Seragam loreng TNI dipakai Polri dengan kebutuhan-kebutuhan khusus yang bersifat keseragaman misalnya; Saat latihan gabungan ABRI, saat penugasan khusus ABRI, saat menjalani pendidikan sebagai taruna AKABRI, atau saat latihan-latihan khusus dibawah kegiatan ABRI dan beberapa anggota Pasukan Pengawal Presiden dari unsur Polri memakai seragam loreng TNI. Ketentuan tersebut diatur tersendiri oleh pimpinan ABRI hingga Polri berpisah dengan TNI di masa awal reformasi.

Pada masa awal kemerdekaan banyak terjadi kudeta oleh sipil dan militer terhadap kepala pemerintahan dan kepala negara yang juga disertai upaya-upaya pembunuhan. Pada tahun 1946, perdana menteri Sutan Syahrir mengubah nama polisi istimewa menjadi Mobil Brigade (Mobrig). Dan juga dengan berdirinya Mobrig, juga diresmikan Resimen Pelopor sebagai pasukan khusus pengawal  kepala negara dan kepala pemerintahan. Pada awalnya pasukan pengawal presiden yang kita kenal sekarang memang hanya terdiri dari unsur kepolisian. Baru setelah kedaulatan Indonesia diakui dunia internasional, unsur pengawal istana bertambah dari TNI.

Brimob dalam sejarahnya juga bertugas layaknya pasukan tempur seperti halnya TNI. Seperti pendaratan di Fak-fak semasa Trikora. Dwikorapun Brimob juga ikut serta dalam operasi meskipun tidak banyak sumber yang menuliskan kiprahnya. Invasi ke Timor Lestepun turut serta dan juga sebagai akhir dari perjalanan Resimen Pelopor karena operasi yang dianggap gagal dan menewaskan banyak anggota polisi oleh pihak musuh.

Kiprah Brimob pada masa pasca perang kemerdekaan memang tak pernah diceritakan sejak pemberontakan PKI Madiun, disinggung sedikit ketika terjadi pemberontakan PRRI/PERMESTA.

Dari ulasan sejarah tersebut, alasan lain bahwa Brimob menggunakan seragam loreng kembali seperti saat ini, adalah untuk mengenang masa-masa keemasan Brimob menurut sisi historis dan heroisme. Memang tidak ada aturan baku yang mengatur ketentuan seragam Polisi secara internasional bahkan Kapolri sendiripun mengatakan bahwa  Polisi Thailand dan Filipina juga memakai seragam loreng untuk penugasan tertentu. Tetapi apakah tidak lebih baik jika pemakaian seragam loreng dibatalkan! mengingat cita-cita dan semangat reformasi saat itu bahwasannya rakyat dan mahasiswa menghendaki polisi yang benar-benar sipil untuk mewujudkan “civil society”. Bukankan dulu Polisi lepas dari TNI/ABRI juga karena desakan mahasiwa? Mahasiswa dan rakyat bersimpati terhadap polisi karena saat itu sering menghadapi demonstrasi yang brutal sementara Polda tidak bisa memiliki otoritas jika tidak ada perintah dan persetujuan dari Kodam. Mahasiswa dan rakyat menghendaki agar polisi menjadi mandiri jika lepas dari ABRI dan tidak akan pernah bergaya militeristik lagi. Diharapkan polisi yang lahir di era reformasi akan menjadi lebih humanis. Tidak ada lagi struktur organisasi yang menyerupai militer, tidak ada lagi istilah kepangkatan seperti militer walaupun kenyataannya masih ada pangkat Jenderal setara dengan militer. Dan masih banyak kultur militer lain yang diadopsi oleh polisi dan dipertahankan hingga kini seperti halnya tata cara upacara pernikahan atau tata upacara pemakaman yang kesemuanya adalah tradisi militer. Seperti saat ini masyarakat awam masih memiliki pandangan bahwa polisi dan tentara adalah sama-sama aparat kemanan dan memiliki tugas yang hampir sama. Kalau sudah demikian maka akan ada celah abu-abu.

Seragam loreng memiliki dampak psikologis bahwa yang mengenakannya akan serasa tampak gagah dan siap untuk ditakuti, sementara kalau sudah seperti ini maka pendekatan humanisme untuk menyelesaikan konflik secara diplomasi akan berpotensi gagal. Timbul angggapan bahwa lawan yang dihadapi adalah “Musuh yang harus dihancurkan” seperti doktrin tentara bukan “Musuh yang harus dilumpuhkan” sebagaimana doktrin polisi. Coba kita tengok saat terjadi peristiwa pembasmian preman Tanah Abang pada tahun 1997. Brimob sanggup menyelesaikannya dengan pendekatan yang humanis tanpa bantuan tentara yang berarti. Sampai-sampai Kapolri saat itu Letnan Jendral Polisi Dibyo Widodo memuji serta membuat Statement bahwa “Brimob bukan untuk ditakuti” nyata sekali bukan dengan seragam yang tidak bercorak tentara dapat menyelesaikan konflik sosial. Seragam Brimob yang bukan loreng sudah sangat pantas dan digunakan oleh banyak negara maju yang memiliki polisi khusus seperti Amerika, Inggris, Kanada dan lain-lain.

Seragam Loreng juga pernah tidak digunakan oleh TNI AD saat tidak berada dalam operasi tempur. Pada masa KASAD Jenderal TNI Tyasno Sudarto, seluruh jajaran TNI AD yang sedang tidak berada dalam penugasan khusus untuk memakai pakaian dinas lapangan tidak bermotif loreng. Saat itu mereka memakai pakaian lapangan berwarba hijau muda.

Perlu diingat pula bahwa setelah polisi berpisah dari TNI mereka juga pernah mengenakan pakaian dinas harian berwarna krem muda dan dinyatakan gagal sehingga mengenakan seragam berwarna coklat gelap seperti sekarang. Dikatakan bahwa seragam berwarna krem tidak cocok untuk kondisi iklim Indonesia yang tropis juga dampak psikologis terhadap pelaku kejahatan tidak gentar dengan warna seragam yang terkesan feminin. Bandingkan dengan anggota TNI AU yang warna seragam hariannya berwarna biru muda dan tidak terkesan sangar sama sekali, tetapi toh tidak ada masalah bagi anggotanya. Dan rata-rata jarang anggota dari mereka terlibat aksi-aksi tidak terpuji dengan masyarakat. Dan jarang pula aksi-aksi kriminal menyerang mereka kalau diasumsikan warna seragam yang lembut tidak membuat penjahat gentar

Jadi sepertinya perlu ada pemikir-pemikir atau mungkin pengamat kepolisian menyikapi hal ini, dengan hadirnya Brimob berpenampilan tentara apakah ada jaminan tidak akan menimbulkan konflik sosial baru di masyarakat baik dengan warga sipil atau dengan tentara. Mengingat setelah kurang lebih 16 tahun reformasi, banyak satuan-satuan TNI yang kini telah memiliki seragam lapangan bermotif khas loreng satuan mereka. Dan tentu saja sangat membingungkan warga sipil karena yang bukan tentarapun seperti beberapa ormas juga memiliki seragam atau atribut yang mirip dengan militer. Dulu di rezim ORBA motif loreng tentara ya cukup satu, tidak seperti sekarang yang sangat membingungakan apalagi ditambah dengan Brimob yang juga ingin mengembalikan kenangan masa lalunya seperti satuan-satuan lain di TNI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline