Lihat ke Halaman Asli

Harapan di Balik Caleg Pilihan Tempo

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pekan ini majalah Tempo merilis laporan khusus berjudul “Bukan Caleg dalam Karung”. Anak judulnya, menjelaskan lebih gamblang judul besar tersebut, berbunyi: “Sebelas Calon Legislator yang Layak Anda Pilih....” Tentu laporan ini tidaklah ditujukan untuk kampanye. Toh kelanjutan dari anak judulnya menyatakan, “... Harapan di Tengah Sinisme Publik pada Partai Politik”. Dengan prasangka baik, mudah bagi kita untuk mencerna laporan tersebut sebagai ajakan halus untuk berpartisipasi dalam pemilu 9 April nanti. Yang ingin dikatakan, seolah-olah adalah: “jangan golput; masih ada lho calon wakil rakyat yang pantas diharapkan kontribusinya untuk Indonesia ke depan.”

Maka tak khayal, dalam daftar tersebut kita disuguhi daftar nama-nama caleg yang kiprahnya seolah memberi kita alasan untuk kembali berharap; bahwa setelah pemilu kali ini keadaan bangsa kita, terutama lembaga tinggi legislatifnya, akan dapat membaik. Dan berbeda dari janji-janji “picisan” di spanduk-spanduk atau poster-poster yang dipaku di pohon-pohon, harapan tersebut tidak dibangun dengan mengumbar apa yang mereka janjikan akan mereka lakukan jika terpilih nanti. Akan tetapi, ceritanya lebih cenderung pada pengungkapan apa yang telah dilakukan kesebelas caleg ini sehingga mereka terbukti punya kompetensi dan “layak Anda pilih...”.

Memang sudah sepatutnya kita mulai menimbang masak-masak jika hendak menyalurkan suara kita dalam pemilihan umum. Pemilih yang cerdas dan dewasa bukanlah pemilih yang “ambil uang kampanyenya... soal memilih si pemberi atau tidak, itu lain soal”. Pemilih macam itu bukannya cerdas, tapi culas. Pemilih yang benar-benar cerdas adalah mereka yang menolak “sogokan” dan “teliti sebelum membeli”. Pemilih yang mau mengeluarkan upaya untuk mencari tahu latar belakang para caleg di dapilnya, baru memutuskan akan memberikan suara kepada siapa. Toh akses ke informasi saat ini relatif mudah; tak banyak ongkos yang perlu kita keluarkan untuk mencari tahu dan menimbang-nimbang.

Untuk soal menimbang-nimbang tentunya bukan sekadar mencermati apa yang mereka janjikan jika para caleg ini nantinya terpilih menjadi legislator. Akan tetapi, dasar pertimbangan kita adalah kiprah mereka. Dan ini berarti, kita melihat apa yang telah mereka lakukan, apa yang telah mereka kontribusikan untuk orang banyak. Namun itu saja tak cukup. Kita perlu melihat apakah visi mereka sebagai caleg “klop” dengan kompetensi yang telah mereka buktikan.

Ambillah contoh salah satu caleg pilihan Tempo. Namanya Nur Amalia, seorang praktisi hukum yang pernah memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pada 2009, bersama kolega-koleganya, ia memperjuangkan hak ekonomi masyarakat di sana untuk menambang emas di area taman nasional tersebut. Meski Nunung mencalonkan diri via partai yang masih baru—bahkan baru sekali ini ikut pemilu; Nasdem—namun kiprahnya membuktikan ia bukan orang yang “masih hijau” dalam hal hukum, legislasi, dan perjuangan masyarakat kecil.

Berbagai persengketaan hukum yang melibatkan masyarakat adat, terutama terkait tanah, memang bukan hal baru di negeri ini. Persoalan menyangkut tanah dengan berbagai sumber dayanya, ketika menjerat masyarakat adat memang hampir selalu terjadi di ranah hukum. Akar persoalannya, adalah ketidaksesuaian antara hukum adat yang berbasis pada kearifan lokal dengan hukum positif yang, sebagaimana kita tahu, lebih banyak berpijak pada hak-hak individual ala Barat. Maka tak heran jika para ahli dan praktisi hukum yang kemudian berpeluang paling besar untuk memperjuangkan penyelesaian-penyelesaian yang tidak merugikan orang banyak. Tinggal itikad baik kita harapkan dari para cerdik cendekia ini.

Nah, dengan rekam jejak semacam itu, jika Nunung—sapaan akrab Nur Amalia—memperjuangkan visinya untuk membenahi sistem legislasi kita agar dapat mengakomodasi masyarakat adat yang mewarisi hukum dan tata aturan dari leluhur mereka, maka rekam jejak dan visinya dapat dibilang “klop”, koheren. Maka tak khayal jika ia pun dinobatkan sebagai salah satu caleg yang layak dipilih sekaligus menjadi harapan kita di tengah sinisme pada partai politik ini.

Berkaca dari berbagai preseden, nampaknya patut untuk bilang: sudah waktunya tata aturan dan hukum di negeri ini juga disesuaikan dengan konteks dan kondisi masyarakat kita sendiri. Masyarakat adat yang menurut data AMAN mencapai 70–80 juta jiwa itu misalnya, sudah semestinya dapat diakomodasi dalam hukum positif kita. Calon legislator yang mengerti hukum dan peduli pada masyarakat adat layak jadi pilihan yang patut kita pertimbangkan untuk mewujudkan visi ini.

Contoh Nunung hanyalah satu misal untuk menggambarkan apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini. Meski “sebut merek”, tapi bukanlah partai atau caleg tertentu yang penting dalam tulisan saya ini. Melainkan, sebuah ajakan: marilah sebagai pemilih kita berupaya untuk bersikap lebih bijak dengan menjadi pemilih cerdas, bukan golongan putih yang patah arang, atau bahkan pemilih culas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline