Lihat ke Halaman Asli

Evangeli

Hiduplah sesuai dengan tujuan keberadaan kita yang sesungguhnya di dunia.

Kegembiraan Sejati

Diperbarui: 20 April 2021   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

Dalam kehidupan di dunia ini, manusia ingin mencari dan merasakan kebahagiaan yang sejati. Tetapi, yang menjadi persoalan adalah manusia tidak mengetahui di mana sumber kebahagiaan itu sendiri; di mana ia dapat menemukan kebahagiaan itu? Kebanyakan manusia di dunia ini berpandangan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh ketika manusia memiliki segalanya, kebutuhan jasmaninya dipenuhi, keberhasilan atau kesuksesan dalam bekerja, terpenuhi seluruh ambisinya, dan lain-lain. Berangkat dari pandangan demikian, manusia mulai berjuang untuk memenuhi apa yang dipikirkannya dan ketika realita yang terjadi dalam hidupnya tidak seiring atau searah yang diharapkannya, ia menjadi kecewa, putus asa, menyalahkan sesama dan bahkan lebih parah lagi menyalahkan Tuhan.

Adalah sifat dasar manusia juga ketika ia berada dalam situasi sulit atau sedih, manusia sering mencari penghiburan, pelampiasan, atau kebahagiaan yang ditawarkan oleh dunia yang sebenarnya tidak dapat memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya atau kebahagiaan semu. Kecenderungan seperti ini juga pernah saya alami dalam peziarahan hidup saya.

Saya hidup dalam keluarga yang sederhana dan bisa dikatakan kurang beruntung secara materi. Kenyataan demikianlah yang melatarbelakangi saya menyimpan ambisi yang kuat untuk menjadi orang sukses dan bahagia menurut kebanyakan orang atau menurut kaca mata dunia, karena dalam pandangan saya kala itu, orang yang hidup bekecukupan atau melimpahnya harta adalah orang yang sungguh menikmati kebahagian itu. Tapi, ambisi dan motivasi yang keliru menjadi kacau, berantakan setelah peristiwa kematian ayah saya yang tercinta pada bulan Juli 2013. 

Saat itu saya merasa sangat terpukul dan dunia saya menjadi suram dan dalam benak saya mencuat pikiran bahwa mungkin selanjutnya dunia saya bukan hanya suram, tetapi menjadi gelap. Mengapa? Karena tertutupnya pintu bagi saya menuju pencapaian cita-cita hidup dan ambisi saya, karena orang yang diandalkan dalam hidup saya pergi tanpa meninggalkan 'bekal' yang cukup bagi perjalanan menggapai impian. Dalam situasi ini, saya mulai merasa diri tidak berguna; saya mulai menyalahkan Tuhan dan merasa bahwa hidup ini sungguh tidal adil bagi saya.

 Untuk keluar dari situasi ini, saya mencoba menghibur diri dengan mengikuti pesta-pesta, menghabiskan waktu di tempat biliard, meminum minuman beralkohol dan lain sebagainya. Namun, semuanya itu  tidak berhasil memberikan kebahagiaan bagi saya. Paling-paling sejenak saya 'mengecap' kebahagiaan itu dan sejenak pula kelegaan yang saya alami, tetapi dalam hitungan hitungan jam atau hari, saya kembali terpuruk dalam situasi depresi dan tertekan. 

Saya kehilangan semangat untuk hidup dan bahkan ingin mati secepatnya, karena melihat tidak terbukanya jalan menuju pencapaian cita-cita dan ambisi saya. Saya merasa tidak ada artinya hidup tanpa meraih cita-cita dan ambisi saya sejak muda. Demikianlah rasa frustrasi berulang kali saya alami. Setiap hari saya memendam rasa jengkel, marah, kecewa pada diri sendiri, keluarga dan Tuhan. Dalam pandangan saya kesuksesan atau terpenuhinya ambisi pribadi saya adalah sumber kebahagian sejati dan itu segalanya bagi saya.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai disadarkan oleh kenyataan bahwa memang dunia tidak dapat  memberikan penghiburan atau kebahagiaan sesungguhnya, karena memang sumber kebahagiaan sejati bukan dari dunia ini. Dunia hanya mampu memberikan kebahagiaan yang bersifat sementara saja, nikmat untuk sesaat dan dapat membawa kehancuran selamanya jikalau tidak bijak dalam menyikapi dunia.  Saya bertemu dengan beberapa sahabat yang sangat sukses, yang membagikan pengalaman mereka terkait dengan kebahagiaan yang mereka dapatkan dalam kesuksesan itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya bahagia. Mereka malah seringkali merasa cemas dan takut. Takut kehilangan apa yang telah mereka miliki itu atau meskipun telah memiliki segala yang diinginkannya, mereka tetap tidak puas. Mereka ingin mendapatkan yang lain lagi. Hidupnya seperti dikejar oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui telah memperbudak mereka.

Saat itulah pikiran dan mata hati saya benar-benar terbuka. Selubung yang selama ini menutupi hati dan pikiran saya  seperti jatuh berguguran sehingga saya dapat melihat segala hal baik yang telah Tuhan berikan kepada saya dalam keluarga. Saat itulah titik balik kehidupan saya. Saat di mana Tuhan berbelaskasih terhadap saya, untuk memberi saya kelepasan dari ikatan akan ambisi yang demikian berat di mata dan hati saya.

Sebenarnya sudah banyak kali, ibu mengatakan kepada saya bahwa Tuhan adalah segalanya. Ia memberikan yang terbaik untuk kehidupan  manusia, apa pun itu. Ibu juga kerap menasehati saya bahwa ketika kita berada dalam situasi sulit, kita harus datang kepada-Nya, mencurahkan isi hati atau menyampaikan kepada-Nya apa yang sedang kita rasakan saat itu, maka kita akan mendapatkan kesegaran atau kebahagiaan dari pada-Nya. Itulah yang ibu katakan. Namun, hal itu tidak menggugah batin saya. Inilah kecenderungan hati manusia yang selalu mengabaikan apa yang benar, menutup diri terhadap hal-hal yang absolut. Diri manusia lebih terbuka dan peka akan hal-hal yang lahiriah.

Sekarang menjadi nyata bagi saya bahwa kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan atau penghiburan yang berasal dari Allah yaitu kebahagiaan yang kita peroleh hanya jikalau kita berada bersama-sama dengan Allah dan mengandalkan-Nya dalam setiap detik perjalanan hidup kita; melalui perjumpaan khusus dalam doa dan juga lewat sabda-sabda-Nya. Dalam injil Lukas bab 11:28, kita mendengar Yesus berkata: "Yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan yang memeliharanya".

Kebahagiaan sejati bukan diperoleh dari dunia ini; bukan soal apa yang kita miliki; bukan sola terpenuhinya kebutuhan jasmani atau keberhasilan kita dalam pekerjaan; bukan juga karena status sosial atau terpenuhinya ambisi tidak teratur. Kebahagiaan kita yang sejati adalah ada dalam Allah, dengan menerima dan taat pada kehendak Allah. Adalah kehendak Bapa bahwa setiap orang mengalami dalam jalan hidupnya masing-masing dan yang terpenting adalah tetap melekat pada-Nya dalam situasi apa pun dan di mana pun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline