Lihat ke Halaman Asli

Teater Tradisional Sebagai Aset Budaya Bangsa

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Arti Teater dalam bahasa Inggris adalah Theater atau Theatre, bahasa Perancis Théâtre
berasal dari kata Theatron (θέατρον) dari bahasa Yunani, yang berarti "tempat untuk menonton".
Dan perkataan “Drama” berasal dari bahasa Yunani kuno “Draomai” yang berarti: berbuat,
berlaku atau beraksi. Pada saat ini perkataan teater lebih sering di gunakan untuk suatu
pertunjukan pentas tertentu. Karena makna teater dapat berarti drama, gedung pertunjukan,
panggung, grup drama dan dapat berarti segala bentuk tontonan yang di pertontonkan di depan
khalayak ramai.

Teater telah tumbuh dan berkembang sudah lebih dari 2000 tarikh sebelum masehi.
Hal tersebut di tandai sejak ditemukannya naskah teater tertua di dunia karya I Kher-Nefert, di
zaman peradaban Mesir kuno. Semenjak zaman peradaban Mesir kuno, teater berkembang pesat
dan semakin maju di benua eropa. Setiap zaman dalam aliran seni pertunjukan menandakan
keadaan masyarakat di sekitarnya. Dari mulai Politik, ekonomi, hukum serta norma-norma yang
berlaku pada zaman tersebut. Teater turut berperan sebagai potret sejarah peradaban manusia.
Sejak zaman teater klasik dengan tokoh-tokoh penggagas-nya: Plato, Aristoteles, Socrates,
Rene Descartes, Zaman Romawi: Plutus, Terence, Publius Terence, Teater abad pertengahan
di Italia dan zaman Elizabeth dengan tokoh besarnya: William Shakespeare, juga di Perancis:
Jean Racine, Moliere dan di Jerman dengan tokohnya: Wolfgang Von Goethe hingga sampai
pada masa teater modern. Berbagai bentuk seni sastra serta aliran dalam seni pertunjukan selalu
mengalami perubahan dan setiap unsur dari pemanggungannya pun selalu mengikuti trend
pada masanya. Teater adalah salah satu seni yang memadukan berbagai jenis kesenian lain di
dalamnya. Seni musik, sastra, dan seni rupa merupakan beberapa alat penunjang dalam seni
pertunjukan. Cerita dan Bahasa merupakan faktor utama dalam membuat suatu seni pertunjukan.
Di zaman sebelum masehi, teater hanya sebagai acara pendukung upacara ritual keagamaan
tanpa adanya acuan dalam berkesenian. Namun seiring dengan kemajuannya, seni pertunjukan
teater tidak terlepas dari peran serta seorang penulis. Setiap lakon dalam seni pertunjukan
terbagi atas tragedy dan komedi.

Walaupun demikian, ternyata peta wilayah penyebaran teater tidaklah hanya berpusat
di barat. Sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai pada zaman sebelum Masehi. Di zaman
itu, unsur-unsur teater tradisional di Indonesia banyak di pergunakan untuk mendukung upacara
ritual. Saat itu, yang disebut “Teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan
belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Para tokoh-tokoh agama sering kali
mempergunakan teater sebagai media untuk menyampaikan maksud serta tujuan. Seperti yang
di lakukan oleh Sunan Bonang dalam membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah
lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan
Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan isbah (peneguhan). Kesenian
rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan
sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Hal serupa juga di lakukan oleh Sunan Kalijaga beserta
para wali lainnya. Pada zamannya, Sunan Kalijaga mendapat julukan sebagai ahli budaya. Di
karenakan Sunan Kalijaga yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir,
seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, gerebeg maulud dan seni tata kota. Sunan Kalijaga

juga turut andil dalam melakukan pembaharuan di dunia pewayangan. Sebelum zaman Sunan
Kalijaga, Adegan demi adegan wayang di gambarkan pada sebuah kertas dengan gambar wujud
manusia. Dan ternyata di haramkan oleh Sunan Giri. Oleh karena di haramkan, Sunan Kalijaga
membuat wayang kreasi baru. Bentuk wayang di rubah sedemikian rupa, dan di lukiskan atau di
ukir pada sebuah kulit kambing. Satu lukisan adalah satu wayang, sedang di jaman sebelumnya
satu lukisan adalah satu adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa
disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Di seluruh dunia dan hanya di Jawa
inilah ada bentuk wayang seperti yang kita lihat sekarang. Itulah ciptaan Sunan Kalijaga. Bukan
hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga ternyata juga pandai mendalang. Sesudah
peresmian Masjid Demak dan shalat Jum’ah, Sunan Kalijaga yang mendalang bagi pagelaran
wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat. Lakon yang
dibawakan seringkali ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi
Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.

Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu
seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Dalam
buku A. Kasim Ahmad, Mengenal Teater tradisi di Indonesia, di katakan, Bahwa di setiap
daerah memiliki ciri khas teater tradisional-nya masing-masing. Di pulau Jawa terdapat berbagai
bentuk seni pertunjukan seperti: Wayang (wayang kulit, wayang orang, wayang beber, DSB),
Ludruk di Jawa Timur, Lenong Betawi di DKI Jakarta, Longser di Jawa Barat serta Ubrug yang
merupakan perpaduan kebudayaan Jawa, Sunda dan Melayu. Untuk wilayah Sumatera terdapat
seni Pertunjukan Makyong dan Randai. Sedangkan di Bali terdapat Teater tradisional, Gambuh
dan Arja. Dan setiap propinsi yang tersebar di wilayah Indonesia memiliki beragam corak seni
pertunjukan dan kebudayaan yang bervariasi. Unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu
berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana
teater tradisional lahir. Akan tetapi Meski pun Indonesia sangat kaya akan warisan budaya dan
kesenian yang beraneka ragam, namun pada kenyataannya budaya serta berbagai kesenian yang
telah tersebar di berbagai propinsi tidaklah dapat terjaga kelestariannya, apalagi dapat tumbuh
dan berkembang. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam peristiwa pengakuan oleh
negara tetangga yang saat ini tengah marak terjadi. Diantaranya adalah peristiwa pengakuan
ikon budaya nusantara seperti reog Ponorogo, tari pendet, batik, alat musik angklung, lagu rasa
Sayange, di tambah dengan pengakuan batas wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Perebutan
Blok Ambalat serta klaim Sipadan-Ligitan. Peristiwa-peristiwa tersebut belum di tambah oleh
karya sastra yang tersebar di Indonesia. Yang sayangnya kini hampir beberapa diantaranya telah
di pentaskan oleh seniman-seniman teater dari barat. Dari rentetan peristiwa yang marak terjadi
di karenakan oleh adanya berbagai macam faktor. Antara lain adalah kurangnya perhatian serta
kepedulian masyarakat dan juga peran serta pemerintah Indonesia dalam pelestarian kebudayaan
dan kesenian tradisional. Hingga mengakibatkan hilangnya regenerasi pelaku seni di Indonesia.

Berangkat dari rasa ke khawatiran tersebutlah Teater Regeneration yang bekerjasama
dengan Dewan Kesenian Jakarta mempersembahkan teater tradisional(23 Juli 2010), yang
berjudul Entong Gendut dari Condet, Karya Pasya Firmansyah, salah seorang Alumni dari
Institut Kesenian Jakarta. Pementasan yang di selenggarakan di Sanggar Baru, Taman Ismail
Marzuki, banyak menarik minat masyarakat sekitar dalam menonton. Pada malam itu panggung
teater arena yang terdapat disana pun berubah menjadi gambaran perkampungan Condet di
era penjajahan Belanda. Para pemain-pemain yang terlibat dalam pementasan di dukung oleh
beberapa artis dan aktor Ibukota. Seperti Epy Kusnandar, Hemalia Rose, Ludy Saputro, Hestu

wreda selaku sutradara pementasan dan beberapa orang pemain juga unsur pendukung lainnya.
Sebuah pertunjukan seni teater tradisional yang mengangkat cerita legenda dari masyarakat
betawi tempo doeloe.

Kisah yang menceritakan mengenai Entong Gendut yang di bantu para jawara Betawi
dalam melawan penjajah Belanda yang berbuat sewenang-wenang dengan menaikkan
Blasting (Pajak). Bagi penduduk Condet yang belum membayar pajak segera di adukan ke
Landrad(Pengadilan). Bahkan terhadap penduduk yang tidak mampu membayar pajak, segera
di sita harta-bendanya. Perseteruan terus menerus berlangsung dan semakin memanas di
perkampungan Condet. Suasana yang tadinya tentram dan damai berubah mencekam. Dari balik
penindasan yang tengah di lakukan kompeni Belanda, Entong Gendut bersama para jawara
Betawi lainnya datang untuk menegakkan panji-panji kebenaran dan keadilan. Peperangan tidak
terelakkan diantara ke dua-nya. Hingga pada akhir cerita Entong Gendut wafat di tangan Lady
Rollensen oleh timah panas.

Seni pertunjukan teater tradisional yang berdurasi satu jam dan di kemas dalam nuansa
komedi satir mendapat sambutan hangat dari para penonton. Tidak jarang penonton ikut terlibat
dalam suasana pementasan. Apalagi ketika pemain sedang melontarkan bait-bait pantun.
Antusias penonton tidak dapat tertahan untuk saling melemparkan pantun. Diantara Pemain
dan penonton tidak ada lagi dinding pembatas. Hingga akhirnya tanpa terasa pementasan pun
telah selesai. Acara pada malam itu, di tutup dengan adanya seminar kebudayaan. Sastrawan,
Budayawan dan Seniman yang hadir saat itu saling melemparkan banyak pujian serta kritikan.
Mempertunjukan teater tradisional tidaklah mudah. Tapi tidak juga serumit yang di perkirakan.
Sebab teater merupakan kerja kolektifitas. Dimana setiap bagian pendukungnya saling
memberikan kontribusi serta ide-ide segar. Mulai pasca produksi sampai pada hari pementasan,
semua orang yang terlibat selalu setia membantu dan memberikan kritikan yang membangun dan
demi upaya melestarikan teater tradisional di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline