maka bertasbihlah fajar
menghitung tetes-tetes air mata yang membasuh setitik perih
beku bibir rembulan berucap lirih tentang sesal
tentang aroma busuk janji-janji yang pengingkarannya tak mampu dieja melalui akal
wahai .. betapa hina diri terpasung dalam kebodohan berjuta
menelan setiap dusta tanpa bertanya
oh ...
alangkah malangnya
tubuh lunglai, letih, merana, menyeberangi lautan dosa hingga hampir binasa
bibir berbasah mengulang-ulang lafadzkan cinta pada sang durjana
sementara hati penuh memar jantung melepuh di jembatan duka
meronta
menggapai-gapai harapkan iba
terlihat senyap menyergap kedua pelupuk mata
gelap menghitam berupaya menyatukan syafaat dan iradat dalam takdirnya
di fajar dingin aku berpuisi
mentertawai keterjagaan begitu panjang yang tak mampu kubaitkan dalam sajak-sajakku
jariku terbelenggu oleh air mataku
kamar-kamar kepercayaan padam
gulita tampak dari sudut ke sudut
dan aku, menjadi manekin paling mengerikan dalam kisah ini
sisa ciuman-ciuman beracun semalam mematikan segenap aliran darahku
bibirku biru, tubuhku biru, hatiku biru, aku terkapar menghitung sisa napasku satu demi satu
ya Rob .. inikah hukuman atas kebodohanku?
kini,
bersamaan dengan hadirnya mentari
rembulan membawa ruhku menjauh pergi
sisa do'a yang terbata dalam lisanku menjelma bisu
terdengar kidung-kidung tak tertata dan ucap sesal yang percuma
tentang cinta dan segala jadi bagaimana hendak aku makamkan?
Kepahiang, 18 Mei 2021
05.40 wib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H