Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Pemimpin Besar

Diperbarui: 20 Februari 2021   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pixabay

Pertanyaan Ibu tentang nama-nama hari selalu kujawab datar, "Tidak tahu," lalu Ibu akan duduk di sampingku. Terdiam. Namun aku heran, Ibu tidak pernah bosan menanyakan hal yang sama. 

Pagi ini, ibu sorongkan lagi pertanyaan itu dan jawabanku belum juga berubah. Untuk kesekian kali. Tidak tahu.

Bagiku senin dan seterusnya hanya nama-nama dari jejak-jejak perjuangan yang tak dianggap, dibuang, bahkan dikubur. Tidak ada nafas kebajikan di sana, yang ada hanya geliat cacing tanah.

Ibu duduk di sampingku. Kembali terdiam. Agak lama. Ibu sengaja memberiku waktu menodongkan sorot mata sepuas hati ke ruas jalan di depan rumah. Aspal jalan yang berlubang-lubang itu tak hanya menyimpan genangan hujan, tapi juga rasa benciku. Lubang-lubang jalan yang seolah tubuh manusia yang kutusuk-tusuk dengan badik peninggalan Ayah. 

Sudah menahun Ayah menjalani hukuman. Tinggal di balik jeruji besi. Terkurung tanpa ampun. Padahal, Ayah adalah satu dari orang-orang yang berjuang mati-matian mengantar negerinya ke depan pintu gerbang kemerdekaan. 

Sekiranya Ayah mati di medan pertempuran, akan ada banyak orang yang berdiri paling awal dan berpidato berapi-api bahwa Ayah adalah pahlawan. Bahwa perjuangan Ayah harus dilanjutkan. Bahwa kemerdekaan adalah harta termewah yang diwariskan pejuang seperti Ayah.

Nyatanya justeru serdadu datang menangkap Ayah, dan Ayah diadili dengan tuduhan "memberontak". Sejatinya, aku tahu ihwal sengkarut itu. Ayah tidak akan pernah memberontak pada negeri tercinta. Ayah mencintai negerinya melebihi kecintaan pada diri sendiri.

Waktu itu, seumpama Ayah terpaksa mendirikan tiang-tiang baru penyangga kemerdekaan ketika tiang-tiang lama sedang goyah. Ayah tidak mendaulat diri untuk menggantikan pemimpin besar yang sedang ditawan penjajah. Namun, Ayah tetap saja divonis bersalah. 

"Bayangkan kalau Ayah tidak segera mengambil langkah memancangkan tiang-tiang baru kemerdekaan, penjajah pasti menganggap sudah tidak ada lagi perlawanan. Bangsa yang baru merdeka itu akan bubar!" Batinku. Membela Ayah.

Sejak hari pertama Ayah dikurung di ruang pengap itu, aku pun tak sudi lagi mengingat hari itu. Sungguh, Ayah tidak pantas dihukum seperti penjajah. Maka bukan hanya sengaja melupakan, aku juga benci nama-nama hari dimana jasa-jasa Ayah diremah-remah. Mengingat itu semua, rasa kesalku akan kontan mendidih.

"Nikmat sekali," kuseruput berkali-kali kopi yang baru saja Ibu suguhkan. Sejak di luar kota, aku lupa berapa hari tak merasakan kopi seduhan Ibu di pagi hari. "Siapa yang kasih kita bubuk kopi, Bu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline