Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Mas Gie

Diperbarui: 28 Desember 2020   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pixabay

Terik mentari yang sejak pagi menimpa hamparan rumput hijau menawan tak tampak lagi dari jendela tempatku berdiri. Selepas makan siang, langit berangsur redup. 

Aku menduga, awan kelam berarak dari utara dan sempat kulihat di depan pintu itu yang merubung wajah sang surya. Dahulu, aku dara desa yang berharap mendung akan sering datang membawakan air ke tetumbuhanku, dari beluntas hingga bunga sepatu.

"Masih di sini? bapakmu sudah menunggu!" ujar ibu mertua, yang sekonyong-konyong sudah berdiri di sampingku. Aku berpaling dari jendela dan bergegas melangkah ke ruang tengah. 

Rumah ini megah. Tiang penyangganya kokoh menjulang. Dari warna dinding yang serba putih cemerlang mencuat kesan mewah perabotnya, yang tak bisa ditutupi kebersahajaan laku penghuninya. 

Bapak mertua dan ibu mertua sangat lekat dengan laku kesederhanaan sampai ke ihwal pakaian dalam keseharian. Aku mengagumi keduanya, dan betapa sederhananya bakmi yang kami nikmati siang tadi.

Meskipun, orang-orang tetap saja menyebut rumah ini "istana".  Ke sinilah aku dibawa Mas Gie--demikian aku memanggil suamiku--sehari setelah pernikahan kami dirayakan gegap gempita. Hingga, kami memutuskan untuk tinggal di desa.

Sebuah desa di lereng gunung yang jauh dari kegemerlapan. Setiap hari rumah terasa sejuk tanpa mesin pendingin. Orang-orang menanam di tanahnya sendiri dan kami membeli hasilnya, mulai sayur mayur sampai buah-buahan. 

Dan, sejenak aku menahan langkah sebelum sampai di depan bapak mertua. "Ke mana suamiku?" batinku. Seharusnya kami duduk berdua di depan bapak mertua. Tak kusangka, bapak mertua menoleh ke arahku, dan aku kembali melangkah.

Bapak mertua tersenyum membalas rekah bibirku yang tersuguh manis mendahului bokongku jatuh di kursi. Aku duduk takzim sambil menunggu senyum lebar bapak mertua habis. Senyum yang belakangan sering terlihat berat di tengah kepenatannya.

"Saya sudah bicara dengan suamimu, kalian tidak usah tinggal di desa lagi," kata bapak mertua.

Tanpa menunggu suaraku, bapak mertua pun menjelaskan panjang lebar niatnya meminta kami meninggalkan desa. Sebelumnya, aku sudah mengira pembicaraan hari ini akan kualami, tapi tak selekas ini. Lebih-lebih, aku dan Mas Gie sedang seru-serunya menjalankan usaha di desa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline