Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Rumahku Laut

Diperbarui: 3 Juli 2021   03:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Nelayan menerjang gelombang tinggi saat berangkat melaut di lepas pantai Pandanarang, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: KOMPAS.COM/MOHAMAD IQBAL FAHMI)

Laut masih seperti dulu. Tapi ombak pagi ini lebih berbuih dari kemarin. Aku berdiri di buritan perahu dan berharap Ayah lekas datang. Selepas tidur tadi, aku tak kuasa menolak ajakan Ayah untuk melaut. 

"Satu-satunya kekuasaanku yang kokoh adalah mengunyah ikan pindang hingga remuk ke tulang-belulang dan otak-otaknya," batinku, sebenarnya aku masih ingin tidur melanjutkan mimpi bertemu Zaliha, anak putri seorang penghulu yang menjadi buah bibir karena keelokan perangainya. 

Sang penghulu adalah sahabat Ayah juga. Sudah pasti aku bisa menaklukkan Zaliha, meski belum pernah mencoba mendekati. Aku punya modal sebagai putra Haji Ali Daeng Sandre, Kepala Desa Sapeken yang memimpin lebih dari 20 tahun. 

Kharisma Ayah masih segar kesohor. Namun, dielu-elukan warga tak membuat Ayah lantas tinggi hati. "Orang angkuh dan sombong itu musuh Allah Ta'ala," aku ingat betul taklimat Ayah yang satu ini. 

Di masa Orde Baru, kepala desa bisa dipilih berulang-ulang. Demikian pula Ayah yang sudah terpilih untuk ketigakali. 

Ayah bahkan menggantikan Kakek yang menjabat Kepala Desa Sapeken hingga tutup usia. Dalam banyak hal, Ayah dan Kakek punya kesamaan, terutama tentang kejujuran dan keteguhan menunaikan keadilan.

Setiapkali menasihati orang, tak jarang Ayah meminjam ungkapan Kakek: Tidak ada artinya uang dan ilmu segudang kalau hati bengkok.

Maka aku tak heran, Ayah masih saja mencari makan dari jala dan pancing sendiri. Hasil tanah bengkok yang salah gunanya diberikan negara sebagai tunjangan kepala desa ternyata juga tak masuk ke dompet Ibu. Melainkan mengalir ke kas sekolah taman kanak-kanak yang Ayah dirikan beberapa tahun lalu. 

"Kalau hanya mau jadi nelayan, mundurlah dari jabatanmu!" entak Ibu kala itu, saat sedang kesal karena tak kunjung bisa mengambil kembali perhiasan yang digadaikan. 

Ibu memang gemar menyimpan perhiasan emas sebagai tabungan. Ayah pun tak menampik pentingnya menabung buat keperluan tak terduga karena Ayah bukan Shah Jahan, sang penguasa Mogul, pengagum cinta dan keindahan yang kuasa membangun Taj Mahal demi sang pujaan hati. 

Ayah justeru bersusah payah menghidupi keluarga dengan menjadi nelayan sembari menjadi tauke ikan asin kecil-kecilan. Ayah yang sukar punya uang lebih karena banyaknya keperluan di luar urusan keluarga membuat masa kecilku tak mudah berleha-leha seperti anak orang kaya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline