Lihat ke Halaman Asli

Polemik Pergantian Label Halal

Diperbarui: 9 April 2022   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap lembaga atau produk mempunyai label atau logo sebagai identitas atau representasinya. Label atau logo berfungsi agar masyarakat luas mengenali suatu lembaga atau produk dengan ciri khas yang ada pada label tersebut. Lembaga yang mempunyai label akan mudah dikenali oleh masyarakat. Dari mulai lembaga pemerintahan sampai lembaga masyarakat mempunyai identitasnya masing-masing yang diwujudkan dalam sebuah label. Biasanya, setiap lembaga akan membuat label yang mudah dikenali dan juga dikemas dengan sisi menarik masing-masing lembaga.

Baru-baru ini, masyarakat dibuat ramai dengan pergantian label halal yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI. Label yang mulai berlaku secara efektif mulai tanggal 1 Maret 2022 tersebut tentu menuai pro dan kontra di masyarakat. Masyarakat mempertanyakan mengapa label halal harus diubah dengan yang baru, padahal label yang lama dinilai sudah sesuai dan mewakili masyarakat luas. Banyak masyarakat yang menilai label halal yang baru mirip dengan gunungan wayang. Label halal baru juga dianggap hanya mencerminkan suatu kebudayaan tertentu saja.

Dalam esai ini, penulis menggunakan pendekatan teori semiotika Charles Sanders Peirce. Teori semiotika Peirces merupakan ilmu atau metode analisis yang membahas mengenai sistem tanda. Peirce mengemukakan bahwa dalam kehidupan manusia memiliki ciri yaitu adanya pencampuran tanda dan cara penggunaannya dalam aktivitas yang bersifat representatif. Menurut Peirce, tanda merupakan sesutu yang berfungsi untuk mewakili sesuatu yang lain dengan mempresentasikan sesuatu yang diwakilinya. Peirce membagi sistem tanda menjadi tiga unsur yang telah dimuat dalam teori segitiga yaitu tanda (sign), acuan tanda (object), dan penggunaan tanda (interpretant).

Label ‘halal’ merupakan sebuah tanda dalam semiotik. Label ini mewakili dan merepresentasikan suatu produk yang boleh dikonsumsi. Tidak sembarang produk bisa mendapatkan label halal. Tentunya, butuh sertifikasi terlebih dahulu untuk mendapatkan label ini. Produk yang memiliki label halal cenderung lebih dipercaya karena sudah mendapatkan sertifikasi resmi dari pemerintah. Seperti yang kita tahu, label halal telah berganti. Label hal-hal yang baru merupakan hasil karya dari kementerian Agama. Ketentuan mengenai label sudah berpindah ke Kementerian Agama dari sebelumnya yang dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jadi, kini ketentuan mengenai label halal berasal dari pemerintah, bukan oleh ormas lagi.

Pergantian label halal ini memicu respon yang beragam dari masyarakat. Muncul banyak pro dan kontra, dengan komposisi lebih banyak yang kontra. Itu cukup masuk akal, karena pergantian label halal ini rasanya tidak diperlukan. Label halal yang baru rasanya tidak mewakili masyarakat Indonesia secara luas. Itu bisa dilihat dari desain label halal yang berbentuk gunungan wayang yang dianggap hanya mewakili budaya Jawa saja tidak secara menyeluruh. Mungkin, bentuk gunungan wayang adalah respon pemerintah untuk menyatukan kembali masyarakat yang kemarin sempat terpecah-belah karena komentar Khalid Basamalah soal Wayang. Seharusnya, Kemenag dan MUI bisa lebih terbuka mengenai mengapa label halal ini diubah dan apa filosofinya.

Terlepas dari pergantian label ‘Halal’, seharusnya tak serta merta membuat masyarakat menjadi terpecah-belah hanya karena pro dan kontra. Masyarakat bisa mengambil sisi baiknya, juga memberikan masukan secara baik tanpa perlu menyalahkan satu sama lain. Di samping itu, pemerintah juga harus mendengarkan masukan dari masyarakat mengenai polemik ini. Pemerintah perlu mengkaji ulang pendapat dari masyarakat agar bisa memutuskan dengan sebaik-baiknya.

Pergantian label ‘Halal’ yang baru-baru ini menjadi polemik di masyarakat seakan terus diperbincangkan. Ketentuan label halal yang sekarang dipegang oleh kementerian Agama menuai pro dan kontra di masyarakat. Dalam semiotik, label ‘Halal’ merupakan suatu tanda yang menjadi representasi akan sertifikasi ‘Halal’. Bagi penulis, Kemenag dan MUI seharusnya bisa membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Kemenag dan MUI sebaiknya mendengarkan masukan dari masyarakat terkait label halal yang baru.

Kemenag juga harus bisa menjelaskan apa sebenernya filosofi dari label halal yang baru tersebut, mengapa diganti, agar tidak menimbulkan salah paham di masyarakat yang menganggap label halal terbaru hanya mewakili satu kebudayaan tertentu. Terakhir, tidak seharusnya masyarakat terpecah-belah hanya karena perbedaan pendapat ini. Masyarakat boleh berpendapat secara baik tanpa harus menyalahkan satu sama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline