Lihat ke Halaman Asli

Daniel Pasedan

Berkeluarga, dua anak

Kampungan

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah sosok kampungan.
Saat ini aku berada di kampung halaman dimana aku dilahirkan 30an tahun silam.
Hal pertama yang aku lakukan adalah bersih-bersih gubuk yang dulu kami tempati dan duatahunan ditinggal tak berpenghuni. Rayap dimana-mana, spiderman and girl meninggalkan sarang di setiap sudut, aroma tak sedap menyelimuti. Ya seminggu lamanya bersih-bersih dan akhirnya siap dihuni.

Berkeliling sambil menikmati pemandangan tiada duanya. Terlihat jelas jalanan beraspal penuh dengan luka yang cukup dalam, sehingga pengendara harus ekstra waspada berkendara.
Memaski kota pariwisata yang diunggulkan, mata saya tertuju pada bak besi berwarna kuning penuh dengan sampah. Entah sudah berapa lama sampah-sampah tersebut tak diangkut.
Pemandangan berbeda di tempat lain, tempat sampah selalu ramai dikerumuni para pemulung. Di sini, sampah tak ada yang melirik.

Selanjutnya adalah kongko-kongko dengan tetangga, ngobrol ngalor ngidul tentang perkembangan, keadaan sekitar. Ada yang sudah meninggal, ada yang sukses membangun rumah mewah, ada yang mendapat pekerjaan sangat layak, ada yang tertinggal, ada yang larut dengan judi, sabung ayam. Sungguh terasa perbedaan yang sangat mencolok.

Ada banyak pemuda yang tidak kukenal, anak-anak kecil yang selalu menunggu setiap sore tuk belajar bersama kini menjadi gadis cantik, menjadi pemuda-pemuda kekar.
Pertanyaan konyol yang beberapa kali tumpah dari mulut ini adalah kamu siapa?... Lha koq jadi gini yah... menjadi terasing di tanah kelahiran sendiri.

Tiba pada suatu perbincangan dengan seorang tetangga yang sekarang sudah menikmati sertifikasi guru dengan berbagai imbalan lainnya.
Beliau bercerita banyak hal seputar kemajuan yang sangat terasa dan membanggakan. Anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama bebas biaya pendidikan, para Guru menikmati berbagai tunjangan yang selama ini mereka sangat dambakan, sekolah-sekolah giat membangun berbagai gedung dan pengadaan sarana penunjang  lainnya. Cukup banyak para Guru sudah mengendarai avanza maupun innova ke sekolah. Wow... hebat.

Saya menyimak segala yang diucapkan pak Guru ini. Lalu ketika terdiam, berarti tidak ada alasan yang pantas dikemukakan untuk mengatakan pendidikan formal kita tidak berkualitas dan lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Demikian pertanyaan yang muncrat dari bibir ini.

Beliau diam, segera saya lanjutkan pertanyaan berikut. Apakah Bapak merasakan bahwa kualitas pendidikan formal di sekolah-sekolah sudah meningkat?

Sesungguhnya saya sendiri menyadari bahwa sertifikasi dan segala fasilitas bahkan berbagai tunjangan yang diberikan pemerintah tidak secara langsung berdampak pada peningkatan kualitas. Terus terang kami selama ini berlomba-lomba untuk mendapatkan uang dan fasilitas namun melupakan bagaimana soal kualitas pelayanan kepada siswa. Demikian diucapkannya dengan ekspresi wajah mengkerut dengan sungguh.
Segera aku mengalihkan pembicaraan untuk tidak menambah kesedihan.

Aku yang kampungan mencoba kembali beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang semakin menggila.
Dasar Kampungan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline