Leo sudah bertekad untuk meninggalkan masa lajangnya tahun ini. Selama sepuluh tahun belakangan, dia sangat fokus dengan pekerjaannya dan membantu keempat adiknya yang masih sekolah pun mencukupi kebutuhan bapak ibunya. Karir Leo cukup bagus dan dimata pimpinannya, dia layak menempati posisi manager.
Belakangan ini, Leo merasa ada satu kebutuhan yang mendesak untuk diupayakan. Bagaimana tidak, diusia tiga puluhan dia sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia perempuan. Jangankan menikah, pacar saja dia tidak punya. Sebetulnya ada banyak perempuan yang memperhatikan Leo, teman kerjanya lebih banyak perempuan. Gila juga nih manusia satu ini, apa sih yang kurang? apasih enaknya membujang? demikian celoteh teman-temannya kerap menjewer kupingnya.
Sangat masuk akal sih, keputusan Leo untuk tetap membujang. Dengan demikian dia bisa konsentrasi dengan pekerjaan yang dia raih dengan susah payah dan juga membiayai empat adiknya yang masih sekolah. Tahun ini salah satu adiknya lulus kuliah, satu masih kuliah dan dua masih di bangku SMA. Maklum saja, Leo adalah anak sulung dari lima bersaudara.
Hari berganti hari, Leo tetap memendam rasa gundah mendambakan sebuah hubungan serius. Nak... apa belum ada perempuan yang mau dekat denganmu? Nak... kamu kan tahu... Ibu sering sakit-sakitan, bapak kamu juga sudah tua. Kami berdua sangat ingin melihat kamu bersanding dengan seorang perempuan yang akan membahagiakannmu nak. Ibu merindukan suara tangis cucu ibu. Leo hanya terdiam ketika ditanya ibunya saat mereka sedang menikmati kebersamaan di rumah. Hati Leo serasa tercabik-cabik, di satu sisi dia ingin membahagiakan kedua orang tuanya, namun disisi lain dia merasa belum cukup berani untuk menikah.
Suatu hari, ketika Leo bertugas ke pelosok untuk mengawasi proyek listrik masuk desa, dia berkenalan dengan seorang perempuan muda. Dia hanya tamatan essemka pertanian, di desanya Lina dikenal oleh semua penduduk. Dia tipe periang, kegiatan sehari-harinya adalah membantu para warga menekuni dunia cocok tanam. Dengan bantuan Lina, hasil panen lebih meningkat. Cukup banyak variasi tanaman yang dikembangkan oleh warga berkat informasi dan ketekunan Lina membimbing para warga.
Ada sesuatu yang bergejolak di dada Leo, namun dia sungguh kesulitan untuk mengungkapkannya. Tidak terasa, proyek tersebut selesai dikerjakan, penduduk desa kini sudah bisa menikmati terang lampu di malam hari. Satu persatu warga sudah mulai membeli televisi. Anak-anak sudah leluasa belajar dengan penerangan yang cukup. Akhirnya Leo harus kembali ke tempatnya, dan sampai saat ini tidak ada ungkapan hati yang tertuang di sana.
Kembali Leo menempuh hari-harinya seperti sedia kala, namun bayangan sosok perempuan desa yang dikenalnya sungguh mengganggu pikiran, ingin rasanya menelpon apa daya di sana belum terhubung dengan saluran telepon. Sepertinya rasa ini sudah tidak bisa dibendung lagi! Tidak ada cara lain selain mendatangi Lina untuk menghapus segala bayangannya. Mungkin ini kesempatan saya, saya harus berhasil mengalahkan keraguan pada diriku.
Dari jauh, seorang anak berlari di pematang. Di wajahnya tersirat pesan penting yang hendak disampaikan. Mbak... mbak Lina cepat pulaaaanng, ada tamuuuu. Lina berdiri dan memperhatikan anak yang berlari kepadanya. Ada apa? kok sampai tergesa-gesa begitu?... Mbak...mbak Lina... sambil terengah-engah... mbal Lina cepat pulang, ada tamu! Tamu?... iya ada tamu yang mencari mbak Lina, sekarang ada di rumah... sama bapak, mbak Lina diminta segera ke pulang. Sambil terus berpikir, ada tamu? tamu siapa yah... dari mana, perasaan tidak ... agh... Segera Lina membereskan peralatannya dan tak lupa pamit dengan petani lain.
Ehh... kang Leo, sudah dari tadi? apa ada masalah dengan proyek listrik? Ahhh sudahlah Lin... kamu bersih-bersih dulu baru kita ngobrol dengan mas Leo... Rupanya pembicaraan sudah terjalin akrab antara Leo, ibunya Lina dan bapaknya.
Pak, bu... begini. Maksud kedatangan saya ke sini bukan untuk urusan proyek listrik. Namun... semenjak proyek di sini selesai dan kembali, saya sama sekali tidak bisa konsentrasi. Bayangan dek Lina selalu hadir dalam hidupku. Daaannnn... jika bapak ibu tidak keberatan, saya ingin menikahi Lina. Dek Lina, maukah engkau menikah denganku? Lina menatap Leo dan lalu tertunduk... kemudian dengan perlahan mengatakan iya... mas sambil mengangguk. Singkat cerita, pembicaraan berlangsung dengan baik. Lina pun tidak keberatan bahkan setuju menjadi pendamping hidup Leo.
Acara nikah dilangsungkan dengan meriah di desa, suasana sangat akrab ala desa. Semua warga desa hadir, dari anak-anak sampai kakek nenek, memberi ucapan selamat kepada pengantin baru. Dan yang lebih mengharukan, ternyata pimpinan dan rekan-rekan Leo hadir. Sungguh sebuah acara pernikahan yang meriah. Para hadirin terlihat menimati hidangan sambil bercengkrama satu dengan lainnya, semua terlihat hanyut dalam suasana gembira.