Lihat ke Halaman Asli

Pascalis PeWe

wirausaha sejak usia 37 th

Indonesia, Belajarlah dari Rosulan Dusun!

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_110457" align="aligncenter" width="504" caption="berbagi nasi berkah"][/caption] Menjelang bulan syawal setiap tahunya, hampir semua masyarakat dusun di kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta menyelenggarakan tradisi adat Rosulan. Rosulan sendiri berasal dari kata rasul atau wali - merujuk pada nabi Muhammad SWT, rasul utusan Allah. Tradisi rosulan diterima dan lestari hingga hari ini karena berakulturasi dengan ajaran Islam. Tak heran bila di dusun dusun tradisi ini selalu berulang dan dilembagaakan menjadi agenda budaya resmi tingkat dusun maupun desa. Secara harafiah tujuan dari rosulan sendiri adalah ungkapan syukur masyarakat tani atas panen pertanian.

Bagi beberapa daerah ujud syukur atas panen ini diberinama berbeda seperti merti dusun, merti desa, merti bumi, dsb. Intinya sama yaitu ungkapan syukur kepada Tuhan atas keselamatan warga. Uniknya karena tradisi ini telah terpola dan mendarah daging di masyarakat, tak lagi berpatok pada hasil panen. Mau hasil panen menurun, atau naik, entah gagal, atau justru terlewat beberapa bulan, warga tetap melaksanakan rosulan.

Bagi masyarakat Gunung Kidulungkapan syukur ini diwujudkan dengan membuat nasi rosul atau nasi suci dan ingkung. Nasi rosul sama halnya dengan nasi uduk atau nasi gurih yang disiapkan oleh setiap kepala keluarga. Ketika nasi rosul mengingatkan kita pada kebajikan nabi maka ingkung justru mengingatkan manusia pada kematian. Ingkung bagi orang Jawa memiliki filosofi ‘meng-kungkung’ atau reflesi bagi setiap orang untuk selalu mengingat bahwa manusia pasti akan mati laiknya bentuk terakhir ingkung ayam tersebut.

[caption id="attachment_110460" align="alignleft" width="300" caption="menata nasi kiriman warga"][/caption]

Berkesempatan mengikuti rosulan di dusun Jetis Kulon, desa Pacarejo, kabupaten Gunung Kidul terdapat semangat luar biasa pada penyelenggaraannya. Rosulan dusun Jetis kulon yang hanya diikuti oleh 50 kepala keluarga memiliki semangat berbagi yang kuat. Setiap bakul nasi rosul dan ingkung kiriman masing masing kepala keluarga dikumpulan di salah satu rumah warga. Mereka melakukan “kepungan” atau mengepung nasi rosul dengan harapan, pujian dan doa. Setelah itu diambil separo untuk dibagikan kepada siapapun yang membutuhkan. Bagi mereka rosulan tak hanya ungkapan syukur tetapi juga distribusi beban sosial untuk kepentingan bersama. Sikap hidup saling berbagi rejeki dan menanggung beban secara bersama menjadikan segalanya menjadi ringan.

“Sodakoh, untuk orang lain dan diri sendiri!” Begitu ungkap Wagiono, salah satu warga dusun. Kebutuhan inilah yang menyatukan setiap orang di Jetis Kulon untuk berkumpul. Di tengah hidup yang serba mahal, mereka masih mau menyisihkan satu ayam kampong dan sebakul nasi untuk dibagi kepada siapapun yang membutuhkan.

Itu hanya seremonial, yang lebih mengakar lagi, rosulan mentradisikan tiap rumah tangga menyiapkan makanan khas. Warga menerima tamu siapapun yang datang dan mengundang kerabat jauh untuk menikmati rejeki  bersama sama. Jadi bila ingin merasakan nikmatnya nasi rosul, sayur Lombok Gunung Kidul dengan lauk ayam kampong datang aja di Gunung Kidul saat rosulan ini. Satu lagi minumnya teh hangat gula batu. Mmm...nikmat!

Dari rosulan, Indonesia perlu belajar keramahan dan sikap hidup saling berbagi dari warga dusun di Gunung Kidul. Apapun kondisinya!. Para anggota DPR yang terhormat tak perlu studi banding ke luar negeri. Filosofi hubungan antar manusia dan politik kebersamaan justru terdapat di Gunung Kidul, Yogyakarta, di dalam tradisi rosulan.

Bila mau membuka diri, belajar dan rendah hati menerima sikap hidup ini, walhasil membuat Indonesia kuat, tidak saling mencurigai, membangun bersama dusun Indonesia, dan menyelesaikan segala permasalahan secara damai. Intrik berubah menjadi kerjasama, konflik berubah menjadi gotong royong dan pejabat lebih memikirkan kemajuan hidup masyarakat dari pada kemajuang hidup dirinya. Karena rejeki itu akan dibagikan kepada setiap orang yang membutuhkan. Inilah prinsip hidup hakiki manusia Indonesia. ROSULAN!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline