[caption id="attachment_91371" align="alignleft" width="300" caption="simbah jual ndog abang"][/caption] Apa enaknya ndok abang/ telur merah yang ditusuk bambu?
Apa lezatnya nasi gurih di pingir jalan?
Apa asyiknya membeli kinang, sirih dan bunga kantil?
Dan apa gunanya membeli pecut sekaten?
Tak ada yang mampu menjelaskan secara detail kecuali dalam diskusi akademis dan talkshow kejawen. Pastinya puluhan pedagang telur merah, nasi gurih, kinang, dan pecut setia menggelar dagangannya selama tujuh hingga tanggal 12 maulud Jawa di sekitar alun alun Kraton Ngayogyakarta dan halaman Masjid gedhe Kraton.
Merekalah adalah para sesepuh, orang tua yang tak peduli laku tidaknya barang dagangan. Semua penjual telur merah, kinang dan pecut adalah orang tua yang mencoba hidup dari sebuah tradisi. Tradisinya setiap sekaten dan garebeg menu khas ini dijual dan tak sedikir yang membelinya. Mulai dari rasa ingin tahu hingga benar benar percaya pada tradisi.
Harga telur merahyang disunduk bamboo ini Rp 2.000 satu bijinya dan Rp 1.000 satu biji kinang yang dibungkus daunpisang bersama daun sirih, dan bunga kantil. “ini biasanya untuk apa bu,” tanyaku. “meniko kanggeh nginang, nek sampun, kembang kanthil dipun simpen wonten ngandap banthal,” balas sang ibu (ini untuk menginang, setelahnya bunga kantil disimpan dibawah bantul). Telur merah dan bunga kantil dibawah bantal dipercaya sebagai sarana untuk panjang umur dan awet muda.
Tak peduli dengan rasionalitas alas an yang meragukan kepercayaan ini, para pedagang tersebut selalu saja berjualan. Dalam setahun hanya tiga kali momen ini dilakukan. Hari Maulud, hari Idul Fitri dan Idul Adha. Karena semua hari besar islam ini dirayakan dengan sekaten yaitu pembacaan risalah nabi di masjid kraton dan garebeg gunungan.
Berbeda dengan generasi yang lebih muda yang mampu menggelar dagangan dengan modal lebih banyak. Kaum ibu ini justru menjual nasi gurih dan perangkatnya. Nasi ini identik dengannasi rosul. Nasi untuk rasul nabi Muhammad SAW. Keuntungan nya memang lebih besar dari menjual telur dan kinang. Meski demikian, tradisi ini menjadi lebih lestari karena simbah simbah ini dan eksotisme sekaten dan garebeg menjadi lebih kental terasa karena mereka.
[caption id="attachment_90951" align="aligncenter" width="645" caption="nasi gurih sekaten"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H