Di tengah pandemi Covid-19, praktik penegakan hukum di Indonesia kembali menuai kontroversi yakni, dengan ditahannya I Gede Ari Astina alias Jerinx SID sebagai tersangka dengan dugaan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Terlepas dari aktivitas tersangka yang selama ini menyuarakan teori atau anggapan terhadap pandemi Covid-19, proses penegakan hukum terhadap dirinya harus ditegakkan baik dari aspek muatan hukum maupun aspek keadilan.
Beberapa problematika hukum dapat kita temui dalam perkara ini, seperti penerapan pasal yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan sehingga terkesan perkara ini dipaksakan serta persoalan kebebasan berpendapat (Freedom Of Speech) yang dijamin oleh konstitusi.
Penerapan Pasal yang Tidak Tepat
Sebagaimana dikutip Detik.com Pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45A Ayat (2) dan/atau Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (3) UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan laporan polisi bernomor LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, Tanggal 16 Juni 2020.
Sumber perkara ini bermula ketika Jerinx membuat postingan di media sosial yang menyebut IDI dan RS sebagai "kacung WHO". Jika dikaitkan dengan pasal yang dikenakan sangatlah tidak tepat yakni Pertama, Pasal 28 Ayat (2) yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".
Pasal tentang ujaran kebencian (hate speech) ini harus memenuhi unsur kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) lain halnya dengan postingan Jerinx yang objek serangannya adalah IDI yang merupakan Organisasi Profesi yang tidak berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sebab, menurut penafsiran sejarah (historical interpretation) Pasal 28 Ayat (2) UU ITE merupakan pasal yang mengacu pada Pasal 156 KUHP yang muatannya adalah ujaran kebencian atau permusuhan terhadap suatu golongan karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Oleh karena itu dapat dilihat, baik berdasarkan UU ITE maupun KUHP secara terminologi IDI tidak termasuk dalam jenis golongan yang dikategorikan. Berdasarkan tinjauan yuridis di atas dapat simpulkan bahwa perbuatan Jerinx tidak memenuhi unsur dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang ITE. Dan seharusnya Ekspresi kritik terhadap suatu kebijakan tidak boleh dikriminalisasi sebagai ujaran kebencian.
Yang kedua, tidak tepatnya Pasal yang diterapkan adalah Pasal 27 Ayat (3) yang mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu. Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan merupakan jenis delik aduan (klacht delict) sehingga membuat ketentuan ini bernuansa kerugian individu atau seseorang.