Lihat ke Halaman Asli

Apakah Fanatisme Agama sebagai Sebuah Jawaban untuk Negeri Ini?

Diperbarui: 4 Mei 2016   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DOKUMENTASI FOTO DARI: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/27/mp1vdp-fpi-ormas-jangan-dilarang-lakukan-sweeping

Bagaimana kita melihat fanatisme agama (khususnya Islam) yang semakin ‘semarak’ di Indonesia akhir-akhir ini? Berita-berita mengenai ormas radikal melakukan sweeping di berbagai acara yang dianggap “membahayakan akidah” ? Di tengah angin demokrasi serta Indonesia yang sudah semakin mencapai “titik kehancuran” tiba-tiba muncul golongan-golongan fanatisme agama di permukaan Negara ini seakan mengajukan diri sebagai alternative solusi untuk mengatasi permasalahan di negeri ini.  Tak sedikit pula yang mengutuki dan mengecam para manusia-manusia radikal ini yang kemunculannya dianggap mengancam demokrasi dan keutuhan Negara. 

Namun percayakah kalau Fanatisme agama itu muncul karena kegagalan politik Nasionalis-sekuler yang kita anut ini? Percayakah mereka muncul sebagai sebuah antitesis? Percayakah yang melahirkan mereka adalah Demokrasi itu sendiri? Pertama yang perlu kita tahu adalah Negara ini menganut paham nasionalis-sekuler sejak sejak awal lahirnya. Demokrasi adalah agamanya, walaupun ketika di era orba demokrasi hanyalah tinggal demokrasi.  Alih-alih perbedaan pikiran, yang ada malah diseragamkan semua oleh Soeharto untuk menghindari hal-hal yang bersifat subversif untuk mengamankan pemerintahannya.

Akhirnya Soeharto dilengserkan pada tahun 1998 setelah selama tiga puluh dua tahun berkuasa karena situasi ekonomi Indonesia yang memburuk di tahun 1997 dan semakin parah di tahun berikutnya. Soeharto dianggap gagal.  Lalu datanglah era reformasi yang menawarkan berbagai jenis pemimpin, namun tetap memiliki formula yang sama untuk membangun negeri ini.  Formula nasionalis-sekuler yang beragamakan demokrasi.  Namun tetap tak kunjung memberikan sumbangsih yang berarti.  Gus Dur masih mendingan kontribusinya secara sosio-kultural  untuk Negara sekaligus menyadarkan bahwa kita adalah masyarakat plural.

Kegagalan Pemerintahan Nasionalis-Sekuler yang nyata adalah semakin lebarnya jurang kemiskinan, semakin terpuruk dan semakin terperkosa hak-haknya.   Dilandasi semangat keagamaan yang memang pada dasarnya ‘menentang kezaliman’ maka manusia-manusia yang sudah gerah tertindas ini ‘bergerak’.  Apakah mereka hendak menggantikan kekuasaan di negeri ini? Bisa jadi. Fanatisme agama sangat mungkin menggantikan kekuasaan di negeri ini.  Contohnya adalah Iran yang ditumbangkan oleh kekuatan revolusi Islamnya.  Lalu setelah itu apakah Iran semakin baik? Saya tidak tahu. Harus dilakukan survey terhadap Iran.

Namun yang bisa kita lihat, kenyataannya Revolusi Islam Iran tidak dibarengi dengan kesadaran untuk mengembangkan sains Islam.  Adanya Nuklir Iran sebagai bukti bahwa mereka masih melakukan copy paste sains dan teknologi pada pemikiran Barat.  Teknologi mercusuar yang lebih banyak kerugiannya dibandingkan manfaatnya.  Tapi itu adalah salah satu contoh bahwa kemiskinan yang dibarengi semangat keagamaan bisa menjadi senjata untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.  “…kemiskinan dan kekecewaan yang digabungkan dengan fanatisme agama berubah menjadi senjata yang mematikan…” ~ Ziauddin Sardar (Kembali ke Masa Depan).

Lalu bagaimana dengan sekulerisme sendiri? Darimana lahirnya? Dari eropa.  Tepatnya pada kegagalan dalam memahami ajaran Kristen.

“…Kehidupan dan kebijakan gereja katolik dan protestan umumnya tidak didasarkan pada ajaran Isa, tapi pada pandangan dunia –Neoplatonik- Agustinus yang dualistik. Augustinus membagi manusia ke dalam dua kategori, yang hidup di dua kota dan tercipta dari dua jenis cinta: Kota dunia diciptakan oleh cinta-diri yang mencapai tingkat kebencian terhadap Tuhan, sementara kota langit tercipta dari cinta kepada Tuhan yang mencapai tingkat kebencian terhadap diri.  St. Augustinus hanya memerhatikan loyalitas terhadap Tuhan, karena loyalitas ini sudah cukup untuk memastikan bahwa semua hal lain akan berjalan sesuai suratannya. Maka, dia pun berkata kepada orang-orang Kristen untuk mencintai Tuhan dan berbuat sesuka hati. Dan mereka melakukannya, sehingga menyebabkan kerugian bagi seluruh manusia. Agama Kristen harus menghapus sejumlah besar tradisi Augustinus dan kembali kepada sumber asli pemikiran Injil…” ~ Ziauddin Sardar (Kembali ke Masa Depan, hal 209-210).

Nah, begitulah kira-kira secara garis besar kronologis dan peta kejadiannya.  Kembali lagi ke Fanatisme agama yang muncul di negeri ini? Seandainya gerakan-gerakan Islam radikal ini berhasil “menggantikan” kekuasaan negeri ini, apakah akan terjadi Indonesia yang lebih baik? Apakah akan menjadi sebuah solusi untuk Indonesia? Kalau kata saya: belum tentu.  Kenapa? Bila mereka hanya meneruskan formula yang ada sekarang ini tentu saja tak ubahnya bagai pemain cadangan yang menggantikan kesebelasan utama dan harus melanjutkan pertandingan yang skornya sudah ketinggalan 120-0 ini.  Yang ada malah menciptakan kembali pemerintahan yang otoriter, karena Islam disikapi secara kaku alias hanya sebagai agama, bukannya  sebuah peradaban.  Selama tidak adanya kesadaran melihat Indonesia secara utuh, yakni historis dan kultural – alias hanya melalui sudut pandang barat saja- maka sampai tahun 3000 pun ibaratnya yang ada hanyalah menutup kebocoran kapal dengan kebocoran-kebocoran yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline