Dengan ditingkatkannya penerimaan THP atau Take Home Pay di lingkungan Pemprov DKI Jakarta baru baru ini, kembali Pemprov DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Basuki TP atau yang lebih dikenal dengan Ahok mendapat sorotan dan perhatian luas dari publik. Tanggapan pro dan kontra terhadap gebrakan ini ramai dilontarkan, terutama terkait tingginya alokasi angka penerimaan THP bagi jabatan dan eselon tertentu yang ditetapkan . Bagi yang setuju, sejumlah angka angka tersebut dianggap wajar, begitu juga dengan para pegawai negeri sipil yang bekerja di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, meski agak beragam, mereka yang pada umumnya berada di level staf bisa menerima kebijakan ini."Minimal uang halal yang dibawa pulang ke rumah untuk keluarga besarannya makin tambah" canda seorang rekan yang ikut dilantik menduduki jabatan Eselon II/b pada 2 Januar 2015 lalu. Berbeda dengan yang pro, para pengkritisi menuding bahwa pemberian THP tersebut hanya sebagai penghamburan APBD, penghamburan yang dianggap tidak perlu, sebab sejumlah uang yang dibayarkan itu dipandang tidak sepadan dan berbanding terbalik dengan kondisi & kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh PNS Pemprov DKI Jakarta. Ketidak setujuan mereka juga didasarkan dengan melihat kenyataan betapa masih kacaunya proses yang berlangsung terkait dseleksi atau lelang jabatan yang diselenggarakan.
Ahok lewat pernyataan yang disampaikan mengatakan bahwa tujuan pendongkrakan THP tersebut dimaksudkan untuk memicu peningkatan produktivitas dan kinerja PNS yang ada. Namun demikian, di mata pengkritisi kebijakan ini, urusan untuk merubah budaya, perilaku dan mindset dan tingkat kemampuan SDM di kalangan PNS Pemprov DKI Jakarta bukanlah urusan semudah membalik telapak tangan, butuh sebuah proses sistemik dan tidak parsial. Demikian juga fakta, bahwa organisasi Pemprov DKI Jakarta tersebut hanyalah sebuah sub sistem dalam sistem utama yang mengatur & mengendalikan kepegawaian negara yang tidak memiliki otonomi penuh dalam soal kepegawaian. Dengan keberadaan UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, maka apapun kebijakan yang diterapkan oleh Ahok, langkah atau beleid yang diambil, A hingga Z-nya seyogianya tetap mesti dilakukan dan dilandaskan serta mengacu sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Dan justru dalam kaitan UU dimaksudkan, menurut beberapa kalangan, lelang jabatan yang dilakukan tersebut penyelenggaraannya bertentangan dengan jiwa dan semangat . Oleh itu, banyak pihak yang pesimis atas niat dan keinginan Ahok itu, apalagi dengan sisa masa jabatannya yang berkisar hanya beberapa tahun lagi dan ditambah kenyataan bahwa sistem penilaian TUKIN atau Tunjangan Kinerja yang diterapkan; hal itu dilakukan masih dalam tahap trial and error yang belum terukur. Karenanya, menurut mereka, pemberian berkali lipat THP dari jumlah standar nasional gaji PNS, ini bukanlah solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Langkah tersebut diragukan bisa dan lantas secara otomatis akan bersinergi merubah dan meningkatkan secara berbanding lurus kinerja dan produktivitas, terutama para pejabat yang direkrut lewat pelaksanaan lelang yang konon, baik objektivitas maupun validitasnya dipertanyakan.
Ahok harus mengakui, bahwa lelang jabatan yang dilakukan secara massal beberapa waktu lalu, kegiatan tersebut masih menyisakan banyak persoalan mengambang yang belum ada kejelasan. Aantara lain, banyak pejabat tinggi, akibat lelang tersebut, mereka terjun bebas ke tanah seperti buah nangka jatuh yang kini bak layangan putus yang tidak jelas arahnya. Secara moral dan sebagai pimpinan yang baik, mestinya hal ini menjadi sebuah pemikiran bagi Ahok. Ahok mestinya juga memahami bahwa tidak ada satu pasal pun dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara tersebut yang menyatakan; jika seorang pejabat eselon II atau III kalah dalam mengikuti sebuah lelang jabatan yang diselenggarakan, yang bersangkutan kemudian boleh distafkan habis. Ahok boleh tegas dan memang mesti demikianlah sifat seorang pemimpin, namun tegas itu bukan berarti sadis. Para pejabat yang menjadi korban itu bagaimana pun juga mereka adalah manusia, manusia yang memiliki harga diri yang sebaiknya harus dipertimbangkan. Oleh itu, mendesak dan dirasa perlu ada sebuah jalan keluar yang elegan, sehingga kesan yang muncul, lelang jabatan tersebut bukanlah hanya sebuah cara yang dimaksudkan untuk bisa dengan smooth menyingkirkan pejabat pejabat yang kebetulan memang pernah frontal dengan Ahok. Masalah lainnya, ada yang karena sesuatu hal, meski sudah dilantik dan di SK-kan, si pejabat tersebut hingga saat ini tidak bisa menduduki jabatan sesuai yang ditetapkan dalam Surat Keputusan pemberhentian dan pengangkatannya sebagaimana yang dialami oleh mantan Bupati Kepulauan Seribu, yang hingga tulisan ini dibuat terpaksa berstatus tarzan kota.
Disamping beberapa permasalahan diatas, pelaksanaan lelang jabatan tersebut dipastikan telah menimbulkan banyak pertanyaan menggantung dan juga ketidak puasan bagi para pesertanya, utamanya yang tidak lolos seleksi. Ketidak puasan ini terjadi bukanlah karena tidak lolos, ketidak puasan dimaksud muncul adalah dikarenakan ketiadaan transparansi atas hasilnya. Konon, hasil lelang jabatan lalu atasnya ada dilakukan pemeringkatan nilai. Dan itulah alasannya mengapa ada istilah pelantikan Tahap I dan Tahap II,dengan pengertian, bahwa yang dilantik pada Tahap I adalah sebagai yang lulus dengan predikat SMS atau Sangat Memenuhi Syarat dan yang dilantik pada Tahap II merupakan peserta yang lulus dengan predikat CMS atau Cukup Memenuhi Syarat sebuah penahapan yang dilakukan berdasar angka, dan memang demikianlah seharusnya. Yang menjadi pertanyaan, jika angka atau pemeringkatan itu ada, kenapa lantas penyelenggara tidak berani mempublikasikannya dan bahkan terkesan menutupi serta menjadikan lelang jabatan ini bak kegiatan senyap intelijen. Kenapa peserta tidak diperkenankan untuk melihat hasilnya. Bukankah dalam ujian apa pun, apalagi ujian dengan judul "LELANG JABATAN TERBUKA" sebagaimana yang dalam setiap kesempatan selalu disampaikan oleh baik Gubernur, Sekda Saefullah maupun Sdr. I Made Karmayoga, sepantasnya jika hasilnya diumumkan dengan secara luas dan terbuka. Bukankah, mengetahui hasil ujian, itu adalah HAK PESERTA yang tidak bisa ditawar tawar. Lantas, apa hal something wrong yang tidak diketahui peserta dan ingin disembunyikan penyelenggara yang bisa jadi juga mungkin atas perintah Ahok lewat tindakan ini.... Atau jangan jangan dalam ketika menentukan lulus tidaknya seseorang, penyelenggara hanya bermodal sebuah kancing baju atau uang koin yang dipakai sebagai alat pengundi. Oleh itu, wajar, jika langkah tidak mengumumkan secara luas hasil lelang jabatan tersebut ditambah berbagai keanehan yang ada, kondisi ini menimbulkan berbagai spekulasi dan kecurigaan ada terjadi hal hal yang tidak baik dan transaksional. Masalah ini pasti akan sangat menarik, apalagi faktanya bahwa I Made Karmayoga selaku Kepala BKD Pemprov DKI Jakarta, pejabat yang paling bertanggungjawab atas penyelenggaraan lelang jabatan dimaksud sampai dicopot dan selanjutnya dimasukkan ke TGUPP (Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan) yang konon adalah tong sampahnya gubernur "membuang" pejabat pejabat DKI yang dianggap bermasalah, ada apa?.... m.liputan6.com/news/read/825663/tim-percepatan-pembangunan-tong-sampah-ahok-ya-pecat-lagi
Secara materi maupun hal hal yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik - karena hasil lelang jabatan yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI Jakarta dimaksud bukanlah sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai termasuk rahasia negara atau informasi intelijen, maka sesungguhnya, tidak ada satu alasan pun yang layak sehingga kemudian hasil lelang dimaksud boleh ditutup tutupi oleh Pemprov DKI Jakarta. Hasil akhir sebuah rangkaian proses lelang jabatan yang dilakukan, apalagi dengan embel embel TERBUKA yang jelas jelas dinyatakan, bukanlah termasuk dalam katagori rahasia negara dan atau informasi intelijen. Hasil lelang tersebut tak lebih hanya merupakan sebuah informasi biasa dan berkatagori informasi publik, sehingga dan semestinya, bukan cuma hanya peserta lelang, tapi bahkan setiap warga Jakarta, baik pembayar atau bukan pembayar pajak bahkan seluruh Warga Negara Indonesia sangat berhak untuk melihat dan mengetahui dan mengakses seperti apa hasilnya. Dengan dasar moral hak kepentingan dan kebutuhan informasi orang banyak serta janji janji transparansi oleh Gubernur maupun Sekda dalam memprosesnya, tentu sangat tidak etis, jika dalam kenyataannya kemudian Pemprov DKI Jakarta menutup nutupi hasil lelang jabatan dimaksud. Jangankan yang selevel dan sebonafid kantor Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang ber APBD 74 triliun rupiah, kantor RT/RW saja yang dalam merekrut hansip lingkungan, diterima tidaknya si calon hansip,pemberitahuannya lengkap pakai pengumuman resmi yang ditandatangan dan diberi cap RT/RW dan ditempel di papan pengumuman yang digantung di sekretariat. Lha, masa Pemprov DKI Jakarta yang keren & beken yang gubernurnya dengan lantang berteriak soal transparansi dan dengan gagah berani secara blak blakan mempublikasikan rincian APBD-nya yang bernilai triliunan itu, eeh dalam menyeleksi pejabat yang bakal dibayar puluhan juta, kok malah kalah sama pengurus sekretariat RT/RW yang ngga ada apa apanya itu, malu dong pak. Whatever you say Mr. Ahok, ini jelas sebagai bentuk sebuah pelanggaran oleh Pemprov DKI Jakarta atas hak untuk memperoleh informasi seluas luasnya yang dijamin undang undang, baik bagi peserta lelang jabatan maupun masyarakat luas, khususnya warga Ibukota Jakarta dan Indonesia umumnya. Dus, sekali lagi, sangat wajar jika kemudian muncul berbagai pertanyaan dan spekulasi terhadap langkah blunder tidak mempublikasikan hasil lelang jabatan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta ini yang entah dengan dasar dan alasan apa, kemudian dengan sangat gegabah menyampaikannya lewat telepon dan pesan berantai via SKPD dan orang orang yang tidak berkompeten dan bukan termasuk panitia. Sebuah cara penyampaian yang aneh, tidak etis dan tidak profesional. Bagaimana tidak aneh, pesan penting tersebut disampaikan disaat berapa hari setelah Natal dan sehari sebelum Tahun Baru 1 Januari 2015, atau cuma dua hari sebelum tanggal pelantikan 2 Januari 2015 dan dalam situasi libur, saat dimana trafik penggunaan telepon selular sangat tinggi, saat dimana jutaan orang saling telepon untuk saling mengucapkan Selamat Natal & Tahun Baru, saat yang artinya juga panggilan telepon yang dilakukan rawan dan berpeluang besar tidak bisa masuk dan diterima oleh si pemilik nomor tujuan.... Kenapa, kok menyampaikan sesuatu yang penting dilakukan lewat komunikasi via telepon. Kenapa hal yang menyangkut nasib dan masa depan orang orang dipertaruhkan lewat cara yang boleh dikatakan sangat beresiko. Kenapa tidak diumumkan lewat website www.jakarta.go.id yang secara resmi dimiliki dan dioperasikan panitia yang sebelum sebelumnya juga sudah acapkali dipakai dalam hal penyampaian pengumuman pengumunan terkait pelaksanaan lelang jabatan ini.Atau, kenapa tidak dikirim lewat email masing masing peserta yang diawal awal sudah diminta panitia dan diinstruksikan untuk dicantumkan dalam bio data masing masing peserta ketika dalam proses seleksi administratif. Apa tidak dipikirkan, jika teleponering yang dilakukan, karena kesibukan trafik atau jalur operator disaat saat musim libur demikian yang memang frekuensinya cenderung menaik berlipat , tindakan tersebut sangat full resiko, karena bisa saja panggilan yang dilakukan tidak masuk sehingga berakibat pada berita yang sangat penting dan menyangkut nasib seseorang itu tidak tersampaikan. Atau, entahlah, apa ini memang disengaja dan mungkin bagian dari sebuah skenario dengan sebuah maksud tertent. Bisa saja bukan, dengan alasan bahwa yang bersangkutan tidak dapat dihubungi,lantas karena pelantikan harus jalan, jabatan yang peruntukannya bagi “pegawai yang tidak bisa dihubungi” tersebut bagaimana pun juga tidak boleh kosong sehingga mesti diisi, dan karena tidak bisa dihubungi terciptalah sebuah alasan untuk mencoret nama yang bersangkutan dan kemudian lewat bisik bisik menggantikannya dengan seseorang lain sebagaimana yang terjadi atas jabatan Kepala Unit Penagihan Aktif Dinas Pelayanan Pajak Kota Adm Jakarta Pusat tersebut, entahlah.
Disamping cara pengkomunikasian hasil lelang seperti disampaikan diatas, banyak keanehan lain terkait hasilnya. Antara lain, ada peserta, waktu mendaftar memilih jabatan di DPP (Dinas Pelayanan Pajak), ujian dan ternyata menang, tapi anehnya, ketika dilantik, pemenang yang berhak ini bukannya dilantik menduduki posisi jabatan di unit/SKPD Dinas Pelayanan Pajak yang menjadi pilihannya, tapi dilantik dan duduk di jabatan/SKPD yang sama sekali lain dan sangat melantur, di Kantor Kesbangpol Jakarta Barat, apes peees... Ada yang tadinya menduduki jabatan Eselon IV di KPU Provinsi DKI Jakarta, ikut dan memilih jabatan sebagai Kepala Unit Penagihan Aktif Dinas Pelayanan Pajak dengan Eselon III/a, menang dan dalam daftar kelulusan namanya jelas jelas diterakan dan diterangkan akan ditempatkan di Kota Administratif Jakarta Pusat, namun tidak ikut dilantik pada tanggal 2 Januari 2015 lalu. Apa mau dikata, si pegawai malang tersebut, akhirnya harus meratapi nasib dan menangis bombay karena kehilangan kesempatan emas untuk memperoleh THP sebesar antara 40 ke 45 juta/bulan dan cukup berpuas diri dengan barter jabatan ke Eselon IV di Kesbangpol Provinsi DKI Jakarta. Pertanyaanya, siapa orang yang sangat beruntung yang mengisi dan menduduki jabatan sebagai Kepala Unit Pelayanan Penagihan Aktif Dinas Pelayanan Pajak Kota Jakarta Pusat menggantikan si pegawai yang berasal dari KPU Provinsi DKI Jakarta tersebut, pembaca sebaiknya jangan tanyakan ke saya... sila tanya ke Sekda, Kepala BKD dan atau Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta, atau kalau penasaran, main saja ke UPPA tersebut, sekalian kenalan dengan yang bersangkutan hehehee....
Yang terakhir, ada mantan lurah, dirinya selama ini menjabat sebagai Kasubbag di salah satu Subbag yang ada di Biro Tata Pemerintahan. Karena memang diwajibkan ikut lelang, yang bersangkutan lantas mencoba peruntungan dengan menyasar pilihan jabatan Kabag dengan spesifikasi Eselon III/b, tapi kalah. Secara aturan main dan karena memang konsekuensi, si mantan lurah tersebut mestinya harus distafkan dan tidak berhak lagi untuk tetap duduk di jabatan lama. Tetapi fakta di lapangan, si eks pak lurah itu hingga kini masih dengan nyaman duduk di jabatannya. Demikian juga dengan di wilayah kota. Ada beberapa Wakil Camat, karena memang kalah lelang, disamping tidak boleh lagi menjabat sebagai wakil camat, mereka harus legowo distafkan dan non job. Hal itu memang terjadi, mereka benar lengser keprabon dari singgasananya, tetapi demikianlah, mungkin karena lihai dan ahli kasak kusuk, para mantan wakil camat tersebut jadi staf dan non jobnya tidak lama, cuma kurang lebih dua minggu saja, setelahnya, bim salabim, mereka ikut dilantik menjadi Kasubbag di pelantikan Tahap II lalu.
Tentu, beberapa contoh diatas, diyakini hanyalah sebagai tampilan pada sebongkah permukaan gunung es di Antartika, yang jika diteliti lebih dalam lagi, akan ditemukan lebih banyak masalah yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk mempertanyakan sejauh mana sih sebenarnya validitas atau keabsahan dan objektivitas penyelenggaraan lelang jabatan tersebut yang dalam proses pelaksanaannya selalu diteriak dan digaransi, murni, transparan, objektif dlsb. Kalaupun hingga hari ini belum atau tidak ada pihak/staf yang menggugat hasil penyelenggaraan lelang jabatan tersebut dengan secara formal, itu bukan berarti tidak ada masalah dan semuanya baik baik saja. Kalau benar seperti yang dituliskan media atau para pengagumnya, bahwa Ahok itu pemimpin masa depan yang bijaksana, secara etika, ada tidak ada disclaimer, segelintir fakta yang diungkapkan diatas, data ini mestinya bisa menjadi sebuah bahan baginya untuk bisa lebih mengevaluasi lagi, sekaligus agar lebih mempertajam pisau potongnya di evaluasi yang dijanjikan akan dilakukan tiga bulan kedepan setelah pelantikan.
Inilah mungkin beberapa fakta yang secara kasat mata terlihat tentang betapa masih kacaunya perjalanan sebuah proses bagaimana untuk mendudukkan orang orang yang dianggap layak dalam jabatan jabatan struktural maupun fungsional yang ada di struktur organisasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta alias lelang jabatan yang kini masih menjadi pembicaraan luas baik di internal pegawai Pemprov DKI Jakarta. Oleh itu, wajar dan sah sah saja jika kemudian ada pihak pihak yang skeptis melihat niat yang sebenarnya baik dari kebijakan pendongkrakan berlipat soal THP oleh Ahok yang pelaksanaannya sudah dieksekusi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H