Ketika orang berada pada puncak kesuksesan, muncul kepuasan batin yang hanya bisa dirasakan tetapi sulit diungkapkan. Orang terlena memandang dari ketinggian untuk menikmati keseluruhan yang telah dicapai. Kenikmatan itu membuat orang akan tertegun sembari merenungan betapa sukarnya mengapai kesuksesan. Kebanyakan orang hanya melihat indahnya berada di puncak tetapi tidak akan menelusuri terjalnya jalan menuju sebuah puncak. Perjalanan panjang dan beliku-liku akan memenuhi memory yangtak mungkin terlupakan. Sementara jalan pintas hanya menjadikan beban moril seumur hidup bahkan menjadi sebuah sandungan terus menerus.
Berada di puncak berarti berada pada sebuah ketinggian dan orang memandang secara keseluruhan. Tiada yang lebih tinggi lagi selain dia yang berada pada puncak. Oleh karena itu tepat apa yang disebut “gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit”.Ketika orang merahi cita-cita itu maka tingkat kepuasaan akan terus memuncak sesuai dengan ketinggian cita-cita. Tingkat kepuasan tak jarang menggiring sesorang menuju sifat keakuan sehingga orang disekitarnya dianggap tak bisa berbuat-apa. Inilah yang disebut dengan “kesombongan”.
Keakuan adalah khas manusia yang bisa dikembangkan ketika manusia lupa dengan sesamanya. Rasa itu akan hilang sehingga solidaritas antar sesama tidak akan menjadi khas manusia sebagai makhluk sosial. Orang memandang sesama sebagai beban yang harus ditiadakan dan bukan sesama yang perlu diakomodir untuk saling melengkapi. Seburuk-buruknya manusia masih ada kebaikan tertinggi dalam dirinya. Dia memiliki martabat yang sama sebagai manusia dan bukan binatang. Manusia sebagai manusia adalah makhluk mulia yang patut dihormati dan dihargai dengan nilai-nilai luhur. Berada dipuncak hanya sementara karena sebentar lagi orang akan turun dari puncak untuk menikmati amisnya bauh di pasar sayur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H