"Hati-hati lah di awal pernikahan"
Itu pesan dari orang tua menjelang pernikahan. Tentu ada sebab mengapa orang tua berpesan demikian. Insting atau pengalaman bisa jadi menjadi alasan munculnya wejangan tersebut.
Mendengar pesan tersebut saya pun mencoba mencari tau yang mungkin menjadi sebab musabab pesan tersebut.
Dari pengamatan memang setelah menikah banyak yang menanjak secara ekonomi. Namun tidak sedikit juga yang terpuruk. Keluarga amburadul kondisi keuangan pun ikut mawut. Pernikahan yang harusnya menjadi berkah malah berbuah bencana.
Jika setelah menikah menjadi bahagia, sejahtera, rejekinya lancar tentu tidak masalah. Namun jika berujung celaka dan sengsara maka akan membebani pikiran orang tua. Nampaknya kekhawatiran akan munculnya persoalan anak berbuah pesan tersebut.
Pernikahan layaknya pertemuan dua aliran arus. Dua arus itu bertemu dan berbentur pada satu tempat. Masing-masing arus memiliki kekuatan untuk mendorong apa saja yang dilewati. Masing-masing arus pun membawa berbagai material di dalamnya. Kedua arus saling dorong hingga membentuk arus baru.
Perkawinan mempersatukan dua insan dalam satu ikatan. Dua manusia yang masing-masing memiliki latar belakang, pengetahuan, pengalaman, kebiasaan yang tidak sama. Keduanya juga berasal dari keluarga yang mempunyai pola asuh yang berbeda.
Untuk menyatukan langkah dalam satu tujuan tidak lah mudah. Panjangnya waktu bersama tidak menjamin kerukunan dalam keluarga. Tingginya pendidikan juga tidak menjadi ukuran keluarga akan langgeng. Banyaknya harta juga tidak menjadi jaminan untuk tidak saling bertikai.
Membangun Jembatan Hati
Pernikahan adalah penyatuan dua insan dalam satu ikatan perkawinan. Tentu tidak mudah menemukan titik temu dua pikiran, dua hati, dua kebiasaan dan dua kenginan menjadi satu.
Perjalanan menuju pernikahan kami tergolong singkat. Hanya butuh kurang lebih enam bulan dari pertemuan pertama sampai berlangsungnya akad pernikahan. Hanya beberapa kali kami bertemu, ngobrol sebelum menikah. Itu pun lebih fokus membicarakan persiapan nikah.