Lihat ke Halaman Asli

Paryono Yono

Menulis untuk berbagi

Membaca Garis Kehidupan

Diperbarui: 16 Januari 2019   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Perjalanan manusia memang tidak selalu mulus. Tidak terus menerus linier, rata, datar dari awal sampai akhir. Jika demikian, tentu kita akan bosan dan jemu menjalani kehidupan. Naik turunnya kehidupan itu lumrah dan wajar. Semua orang akan bertemu dan bertegur sapa.

Setiap insan akan diiringi keberhasilan dan juga kegagalan. Untuk itu, tidak perlu jumawa ketika berjaya. Keberhasilan adalah jalan untuk bersyukur dan menambah kebaikan. Tidak usah berputus asa ketika berada di bawah, karena kekalahan petunjuk untuk refleksi diri dan belajar agar lebih mawas diri.

Terkadang, hal yang dianggap remeh, tanpa disangka dan dinyana, jika Allah menghendaki, dapat menjadi pembuka keberhasilan. Sesuatu yang dirancang dengan njlimet dan rapi, belum tentu membawa kesuksesan. Kapan dan oleh apa seseorang akan naik, menjadi misteri kehidupan.

Begitu juga peristiwa turun, masih menjadi teka-teki. Sering orang jatuh bukan karena hal besar. Kerikil kecil sering menjadi batu sandungan orang yang berjalan. Maka wajar, jika orang tua berpesan agar memperhatikan orang fakir, miskin yang papa. Jangan sampai membuat mereka kecewa apalagi sengsara.

Proses naik-turun perjalanan hidup, tiap orang pun tidak sama. Kebanyakan orang tua girang, ketika anaknya yang masih sangat muda menjadi sukses, berhasil, dan berjaya. Kesuksesan anaknya dibanggakan kepada khalayak di sekitarnya.

Beda dengan orang tua yang bijak. Mereka gundah jika melihat anaknya berhasil dengan mudah di kala muda. Saya pernah mendengar kerisauan tersebut.

"Jangan takjub, saya malah kawatir dengan anak itu." ucap Abah sambil melihat anak muda yang barusan masuk di mobil barunya. Mobil dengan plat nama pribadi. Entah berapa uang untuk membayar agar namanya tersemat di plat mobil tersebut.

Tak sampai 5 tahun, terdengar konflik menyelimuti usaha anak muda tersebut. Banyak suara kekecewaan karyawan nyaring terdengar di telinga. Belum lagi konflik dengan pemuka yang merasa kurang dihargai. Persoalan dengan tetangga sekitar yang kurang dimengerti. Kejadian demi kejadian menjadi musabab meredupnya usaha. Sekarang, kabar mengenai pemuda tersebut sudah tidak terdengar lagi. Tenggelam dalam keriuhan dunia.

Orang arif nan bijak biasanya resah, risau ketika melihat anak muda yang terlalu cepat merengkuh kesuksesan. Yang awalnya bukan siapa-siapa, tiba-tiba menjadi orang berada. Di usia belum genap 30th, tetapi sudah mendapatkan posisi tinggi.

Bukan iri karena tidak diposisi dia, tetapi kawatir jika turunnya kejayaan seperti terjun dari tebing tinggi. Terpelanting dan terbanting ke dasar bumi. Seperti grafik tangen pada trigonometri, setelah di titik puncak jatuh ke titik paling bawah. Padahal ketika berada di dasar, akan sulit kembali ke jalur naik. Terus, siapa yang menjadi korban? Iya anak dan istri yang ikut merasakan kegetiran.

Orang tua bijak, biasanya mendidik anaknya untuk naik seperti menaiki anak-anak tangga. Perjalanannya naik tahap demi tahap. Satu langkah demi satu langkah. Kenaikan sedikit demi sedikit menjadikannya lebih kokoh, pengelolaan emosi pun lebih stabil. Ketika terjadi gejolak tidak gagap dengan keadaan. Lebih sigap menghadapi persoalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline