Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Lansia: Sehat, Bahagia dan Bermakna

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teks kutipan: Secara alami, orang tua mendekati kematian. Karena itu pelayanan “home care” juga perlu penghibur dan pembimbing ibadah dan doa.

Setiap orang akan menjadi tua. Itu sunatullah atau hukum alam. Tapi menjadi tua dan tetap sehat itu dambaan. Tua, sehat dan bahagia itu impian. Tua, sehat, bahagia dan bermakna itu doa banyak orang, di samping yang bersangkutan. Mengapa? Tua, sehat dan bahagia itu urusan pribadi, sedangkan bermakna itu berdampak positip bagi orang lain.

Menjadi tua dan tetap sehat saja tidak mudah. Perlu persiapan sejak muda, antara lain makan yang bergizi dan rajin olahraga. Itu sehat fisik, sedangkan bahagia itu urusan pikiran dan perasaan. Agar tetap sehat dianjurkan kita berpikir positif, optimistis, dan merasa bersyukur terus. Bermakna atau bermanfaat bagi orang lain perlu pendidikan dan latihan untuk peduli orang lain sejak kecil.

Itu semua adalah dambaan, harapan, cita-cita dan doa. Kenyataannya, banyak orang menjadi tua berarti rentan penyakit, menderita dan menjadi beban orang lain. Fakta ini perlu kita cermati, karena jumlah orang lansia, mulai usia 60, Indonesia kini mencapai sekitar 20 persen dari penduduk.

Dan, mayoritas kondisi mereka bertolak belakang dari judul tulisan ini. Data yang saya peroleh dari teman, menunjukkan hanya satu persen dari pensiunan pada usia 65 tahun yang hidup makmur. Empat persen hidup atas dukungan keluarga, anak dan saudara. Lima persen harus bekerja lagi. Sebanyak 36 persen sudah meninggal dan 54 persen hidup di bawah garis kemiskinan. Akurasi data itu perlu diverifikasi, tapi sekilas angka itu mendekati kebenaran.

Melihat data itu, perlu satu resep lagi untuk menjadi tua, sehat, bahagia dan bermakna, yakni bekerja keras, hemat dan menabung. Ini juga tidak mudah, sebab pekerjaan yang memberi penghasilan memadai, hingga bisa dihemat dan ditabung tidak mudah  diperoleh.

“Care givers”

Kondisi lansia yang seperti itu membuka peluang baru bagi lapangan kerja dan usaha penyedia perawat untuk orang tua atau “care givers”. Merawat orang tua yang sakit-sakitan dengan kondisi emosi yang labil memerlukan keahlian dan ketrampilan khusus plus kesabaran ekstra. Ini sama dengan mengurus “disabled” atau penyandang disabilitas.

Keluarga modern dan kaya, yang tidak mau repot-repot, umumnya menyerahkan orang tua mereka ke panti. Ini perlu biaya lumayan besar, sementara orang tua sering merasa dibuang agar tidak mengganggu.

Keluarga yang menganut nilai tradisional biasa mengurus orang tua di rumah sendiri. Bagi keluarga dengan ekonomi pas-pasan pekerjaan mengurus ortu itu dilakukan oleh anggota keluarga sendiri secara sukarela. Bagi keluarga mampu, merawat ortu dilakukan oleh perawat profesional dengan gaji memadai.

Mengurus ortu yang sakit dan penyandang disabilitas di rumah sendiri disebut “home care”. Pelayanan “home care” kini semakin diminati. Ini melibatkan tidak hanya perawat, tetapi juga dokter, pekerja medis lainnya dan bahkan jasa ambulan. Daripada susah ke rumah sakit, pemeriksaan dan pengobatan dilakukan di rumah sendiri. Yang dirawat tetap merasa “at home” dan anak cucu dapat menjenguk setiap saat dengan lebih mudah.

Secara alami, orang tua mendekati kematian. Karena itu pelayanan “home care” juga perlu penghibur dan pembimbing ibadah dan doa. Karena belum semua keluarga mampu membiayai layanan lengkap seperti itu, kondisi lansia Indonesia juga membuka ladang amal sosial, yakni kesempatan menjadi relawan perawat lansia atau “ volunteer care givers”, yang memiliki keahlian dan ketrampilan yang sesuai.

Mari kita manfaatkan lahan usaha dan sosial atau “social business” ini. Jangan lupa, berbakti kepada orang tua membawa banyak berkah. Amien.Teks kutipan: Secara alami, orang tua mendekati kematian. Karena itu pelayanan “home care” juga perlu penghibur dan pembimbing ibadah dan doa.

Setiap orang akan menjadi tua. Itu sunatullah atau hukum alam. Tapi menjadi tua dan tetap sehat itu dambaan. Tua, sehat dan bahagia itu impian. Tua, sehat, bahagia dan bermakna itu doa banyak orang, di samping yang bersangkutan. Mengapa? Tua, sehat dan bahagia itu urusan pribadi, sedangkan bermakna itu berdampak positip bagi orang lain.

Menjadi tua dan tetap sehat saja tidak mudah. Perlu persiapan sejak muda, antara lain makan yang bergizi dan rajin olahraga. Itu sehat fisik, sedangkan bahagia itu urusan pikiran dan perasaan. Agar tetap sehat dianjurkan kita berpikir positif, optimistis, dan merasa bersyukur terus. Bermakna atau bermanfaat bagi orang lain perlu pendidikan dan latihan untuk peduli orang lain sejak kecil.

Itu semua adalah dambaan, harapan, cita-cita dan doa. Kenyataannya, banyak orang menjadi tua berarti rentan penyakit, menderita dan menjadi beban orang lain. Fakta ini perlu kita cermati, karena jumlah orang lansia, mulai usia 60, Indonesia kini mencapai sekitar 20 persen dari penduduk.

Dan, mayoritas kondisi mereka bertolak belakang dari judul tulisan ini. Data yang saya peroleh dari teman, menunjukkan hanya satu persen dari pensiunan pada usia 65 tahun yang hidup makmur. Empat persen hidup atas dukungan keluarga, anak dan saudara. Lima persen harus bekerja lagi. Sebanyak 36 persen sudah meninggal dan 54 persen hidup di bawah garis kemiskinan. Akurasi data itu perlu diverifikasi, tapi sekilas angka itu mendekati kebenaran.

Melihat data itu, perlu satu resep lagi untuk menjadi tua, sehat, bahagia dan bermakna, yakni bekerja keras, hemat dan menabung. Ini juga tidak mudah, sebab pekerjaan yang memberi penghasilan memadai, hingga bisa dihemat dan ditabung tidak mudah  diperoleh.

“Care givers”

Kondisi lansia yang seperti itu membuka peluang baru bagi lapangan kerja dan usaha penyedia perawat untuk orang tua atau “care givers”. Merawat orang tua yang sakit-sakitan dengan kondisi emosi yang labil memerlukan keahlian dan ketrampilan khusus plus kesabaran ekstra. Ini sama dengan mengurus “disabled” atau penyandang disabilitas.

Keluarga modern dan kaya, yang tidak mau repot-repot, umumnya menyerahkan orang tua mereka ke panti. Ini perlu biaya lumayan besar, sementara orang tua sering merasa dibuang agar tidak mengganggu.

Keluarga yang menganut nilai tradisional biasa mengurus orang tua di rumah sendiri. Bagi keluarga dengan ekonomi pas-pasan pekerjaan mengurus ortu itu dilakukan oleh anggota keluarga sendiri secara sukarela. Bagi keluarga mampu, merawat ortu dilakukan oleh perawat profesional dengan gaji memadai.

Mengurus ortu yang sakit dan penyandang disabilitas di rumah sendiri disebut “home care”. Pelayanan “home care” kini semakin diminati. Ini melibatkan tidak hanya perawat, tetapi juga dokter, pekerja medis lainnya dan bahkan jasa ambulan. Daripada susah ke rumah sakit, pemeriksaan dan pengobatan dilakukan di rumah sendiri. Yang dirawat tetap merasa “at home” dan anak cucu dapat menjenguk setiap saat dengan lebih mudah.

Secara alami, orang tua mendekati kematian. Karena itu pelayanan “home care” juga perlu penghibur dan pembimbing ibadah dan doa. Karena belum semua keluarga mampu membiayai layanan lengkap seperti itu, kondisi lansia Indonesia juga membuka ladang amal sosial, yakni kesempatan menjadi relawan perawat lansia atau “ volunteer care givers”, yang memiliki keahlian dan ketrampilan yang sesuai.

Mari kita manfaatkan lahan usaha dan sosial atau “social business” ini. Jangan lupa, berbakti kepada orang tua membawa banyak berkah. Amien.

Follow twitter saya @ParniHadi01

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline