Lihat ke Halaman Asli

8 Tahun Berpetualang Angkringan di Jogja

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1426886748760425018

[caption id="attachment_404397" align="aligncenter" width="490" caption="Sego Kucing (mahirbelajar.wordpress.com)"][/caption]

'Urip kudu belajar prihatin'

Itulah salah satu filosofi dan ajaran maarifat kehidupan dari Simbok yang selalu saya ingat. Dengan hidup prihatin artinya kita menghayati kehidupan, memahami arti perjuangan, dan menempa kemandirian. Dan salah satu bentuk keprihatinan itu adalah mengakrabkan diri dengan angkringan. Kenapa angkringan? tentu bagi sampeyan yang sudah pernah makan di angkringan-angkringan Jogja tahu maksud saya. Berikut kisah saya selama 8 tahun mencari angkringan paling ngangenin.

Perjalanan nangkring saya dimulai pada tahun 2003, tahun kedatangan saya di Jogja. Angkringan pertama yang menjadi korban nangkring rutin saya adalah sebuah angkringan sederhana di sebelah utara Masjid Al-Mujahidin UNY. Manajer angkringan (baca: penjaga part-time) adalah teman kampus kakak saya. Mas penjual angkringan itu namanya Mas Hadi. Orangnya kocak, lucu, periang dan aktivis tulen.

Mahasiswa Sastra Inggris UNY itu sudah sekian lama menjadi part-timer, alasannya sederhana selain menambah uang jajan, juga sudah dipastikan jam kerja tidak akan menggangu aktivitas kuliah ataupun kesibukannya di lembaga kampus. Seperti kebanyakan angkringan lainnya di Jogja, seorang penjual angkringan belum tentu memasak sendiri menu-menu yang disajikan. Biasanya ada yang bertugas nyetori menu-menu itu, penjual tinggal menyediakan lapak (gerobak angkringan). Begitu juga angkringan milik mas Hadi.

Menurut saya, daya tarik dari angkringan ini adalah kualitas sambel terinya. Sambel terinya diolah dengan sempurna, paduan antara cabe, bawang dan teri yang dimasak tak terlalu matang yang menghasilkan rasa pedas menyengat meski secara kuantitas hanya sak-iprit.

Setelah cukup akrab dengan angkringan Mas Hadi, saya mulai mencoba angkringan-angkringan lain. Kali ini sasarannya adalah angkringan pertigaan kampung Kuningan (sebelah barat FBS UNY). Yang khas dari angkringan ini adalah sate kulitnya apalagi setelah minta untuk dipanasin di arang sebentar, rasanya bakal lebih maknyusss.

Di angkringan ini, untuk pertama kalinya saya melakukan eksperimen. Yaitu mengoplos teh panas dengan jahe, atau yang sering saya singkat TJP (teh-jahe-panas). Motifnya waktu itu sederhana, tampil beda. Karena kebiasaan pembeli angkringan waktu itu cuma sebatas wedang jahe, susu jahe atau teh saja. Dan ternyata kombinasi ini memiliki citarasa unik dan sangat berkesan, halah. Akan tetapi di angkringan ini saya belum begitu puas. Teh yang disajikan menurut saya masih dibawah standar.

Petualangan selanjutnya adalah angkringan Lapangan Klebengan (utara Peternakan UGM) yang persis terletak di pesisir selokan Mataram. Di angkringan ini, tidak terlalu memiliki citarasa yang menonjol. Semua makanannya biasa-biasa saja, bahkan minumannya juga. Meski begitu, untuk masalah jumlah pengangkring di saat jam-jam puncak bisa ngalahin angkringan Tugu. Ramainya kaya pasar. Mungkin alasan angkringan ini ramai adalah letaknya yang strategis dan harganya yang sangat bersahabat. Kalau semisal taksi, angkringan Klebengan masuk katagori angkringan tarif bawah.

Kemudian pernah juga nyobain angkringan Tugu, awalnya tak terlalu berminat kesana. Angkringan ini memang sangat terkenal, sudah beberapa kali masuk tipi. Pelopornya adalah Lik Man, pria aseli Bayat-Klaten. Sekarang ini, angkringan Lik Man sudah dikelola oleh generasi kedua atau ketiganya. Selain itu, di kawasan stasiun tugu ini juga berjajar beberapa angkringan lain yang berharap kesuksesan seperti punya Lik Man yang katanya mempunyai omset sampai 3 juta semalam itu.

Kenapa saya katakan tadi tak terlalu berminat, alasanya karena kelewatan ramai. Tiap kali kesana, pasti susah nyari tempat. Selain itu menu utamanya yang teramat biasa ditambah lagi angkringan ini memiliki tarif premium dibanding angkringan lain. Pamor memang mengalahkan segalanya. Termasuk isi kantong mahasiswa, halah. Tapi yang unik, seperti yang sampeyan ketahui, angkringan ini menyediakan kopi joss yang melegenda. Yaitu paduan antara kopi tubruk dengan arang kayu yang membara. Saya sendiri tak terlalu suka, mencobapun dulu karena penasaran karena secara rasa biasa-biasa aja persis seperti rasa kopi pada umumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline