Jalan-jalan ke Kampung Kajoetangan di downtown Malang kalau hanya dengan kata-kata memang takkan mengubah apapun. Kawasan ini adalah kawasan tua tak ubahnya Kota Tua Batavia persis di mulut Stasiun Kota Jakarta. Yang berbeda hanya latarnya saja.
Kalau kota tua Batavia adalah kota tempat para petinggi Hindia Belanda bercokol. Sedangkan Kampung Kajoetangan adalah perkampungan "the ordinary people" yang khusus didirikan Belanda untuk melayani kebutuhan warga perkotaan, mulai dari warga yang mahir dalam pertukangan kayu hingga mahir berniaga kebutuhan pokok sehari-hari.
Pada masa yang sama Belanda membangun kawasan elite Ijen, yang melebar hingga sampai Stadion Gajayana sekarang, Jalan Bromo, Arjuno dll. Langkah antisipatif ini benar adanya, karena kota Malang terus berkembang dari waktu ke waktu. Begitu pula halnya dengan warga perkampungan Kajoetangan yang berfungsi melayani warga kota.
Kampung Kajoetangan Heritages terletak persis di balik Jalan Basuki Rahmat, yaitu deretan pertokoan yg dibangun Belanda setelah perkampungan Kajoetangan yang mendahuluinya.
Perjalanan waktu akhirnya mengubah segalanya. Yang tak pernah berubah adalah Kajoetangan itu sendiri. Itu adalah sebuah nama yang mengingatkan kita akan Malang Tempo Doeloe dengan segala romantika di dalamnya.
Populasi Kampung Kajoetangan Heritage di zaman merdeka kini diperkirakan antara 500 hingga 800 jiwa. Estimasi ini bersumber dari berbagai penelitian dan pemberitaan. Angka ini tidak perlu mengherankan, karena perkembangan populasi tentu takkan tertampung di kantong tersebut. Dipastikan keturunan warga Kajoetangan ini cukup banyak yang merantau ke kawasan lain di kota Malang, atau bermigrasi ke luar kota.
Dibandingkan dengan total populasi Kota Malang pada tahun 2020 yang mencapai 847.192 jiwa (BPS, 2023), persentase penduduk Kampung Kajoetangan Heritage berkisar antara 0,06% hingga 0,09%.