Gong Xi Fa Cai Prabowo-Gibran dan Jayalah Indonesia
Hari ini Jumat 9 Pebruari bertepatan dengan libur bersama terkait perayaan Imlek tgl 10 Pebruari 2024, adalah kampanye akbar dan terbuka sekaligus yang yang terakhir bagi ketiga kontestan yi Prabowo, Anies dan Ganjar. Itu semua terpusat di Jakarta, dan pada kesempatan ini pulalah Gen Z dan Milenial dan elektoral luas pada umumnya akan menentukan pilihannya, apakah Paslon 01, 02 atau 03.
Di tengah hiruk-pikuk buzzers termasuk kalangan akademisi menghujani kritik terhadap pemerintahan Jokowi dan beberapa malah mencoba masuk dengan mengutak-atik masalah etik pencalonan Gibran sebagai cawapresnya Prabowo, bahkan Rosiana Silalahi dalam talkshow Rosi nanti malam sekitar Pk 20.00-an akan menayangkan obrolannya dengan Megawati, dan Cak Imin yang sibuk mengcounter semua kegagalannya dalam merangkul kalangan Nahdliyin di Jateng dan Jatim.
Kita bertanya-tanya apakah semua hiruk-pikuk itu berpengaruh signifikan terhadap moving averages atau ayunan langkah dan maunya elektoral kita. Jawabannya bisa saja ya tapi jauh dari bisa dikatakan signifikan. Bagaimanapun variabel yang permanen tetaplah Jokowi, bukan Ketum Parpol, atau seorang atau beberapa jenderal pensiunan, atau kalangan akademisi yang beberapa terakhir ini koor mengumandangkan kekecewaannya terhadap pemerintahan Jokowi.
Semua itu tak kurang tak lebih hanyalah untuk menggiring elektoral mendekati pencoblosan tgl 14 Pebruari yad.
Robert seorang sobat lama saya yang masih tinggal di Timtim tadi malam meneleponku curhat bahwa Indonesia sekarang nggak sama dengan Indonesia dulu. Ya nggak-lah sahutku. Emang Indonesia hancur-hancuran. Kan tidak. "Aku bukan hendak mengatakan seperti itu. Tapi hanya ingin mengatakan bahwa demokrasi di negeri kita sekarang tidak lagi sama dengan demokrasi di masa regime sebelumnya, apalagi di masa regime Orba", demikian Robert.
Oya dari mana anda melihat itu, tanyaku. "Dari semua sepak-terjang Jokowi dan para pembantunya, dan dari semua denyut nadi perpolitikan kita. Aku lihat di masa Jokowi ini memang seakan semuanya kebablasan, tapi sesungguhnya tidak. Misalnya yang terakhir aku lihat intelektual seperti Rocky Gerung memaki Jokowi sebagai 'bajingan tolol', tapi nyatanya ia tidak ditangkap atau direspon keras oleh pemerintah, melainkan disambit rakyat ketika ke Yogyakarta bersama Refly Harun. Jadi aku melihat yang menjaga kode etik itu justeru rakyat kecil. Dan sekarang kita lihat koor besar kalangan akademisi ntah pun itu diorkestrasi atau tidak, tapi yang jelas koor besar itu mengritik pemerintahan Jokowi. Ini juga palingan akan dikoreksi oleh rakyat kecil juga", tegas Robert.
Oh begitu, Btw, bagaimana anda melihat Paslon No 02 Prabowo Soebianto. Bukankah anda mengenalnya dengan baik ketika Prabowo bertugas di Timtim, bahkan pernah mengontrakkan rumah anda di Taibesi, Dili, untuk dijadikan markas Prabowo, bahkan sempat saya lihat tahanan Fretilin yang bebas mondar-mandir di rumah yang dijadikan markas sekaligus tempat tahanan Fretilin itu.
Robert sontak teringat Prabowo selama bertugas di Timtim yang pangkatnya masih Letkol ketika itu. "Ia baik-baik saja, ntah itu kepada tahanan, sekalipun itu Fretilin, ia juga baik kepada warga Timtim, dan sangat baik kepada generasi muda Timtim sampai kemudian ia mendirikan Gadapaksi atau Garda Depan Penegak Integrasi. Prabowo di masa kini setelah sekian lama diberhentikan karena dituding miring tentang sejumlah hal yang dianggap pantang di awal reformasi ketika itu.
Bayangkan sekian tahun setelah ia diberhentikan secara tidak hormat dengan pangkat terakhir Mayjen, ia kini, khususnya semasa Menhan di kabinet Jokowi, termasuk ucapan-ucapannya selama kampanye, dan dalam penyampaian berbagai ceramah, Prabowo terkesan kuat sudah bermental baru yang siap mengorbit jadi negarawan.