Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Terkuburkah Gibran dalam Pilpres 2024

Diperbarui: 22 November 2023   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gibran Rakabuming Raka tunjukkan ijazah asli di Balaikota Solo. Foto : kumparan.com

Terkuburkah Gibran dalam Pilpres 2024

Gibran Rakabuming Raka. Nama ini mudah diingat, karena ia adalah Putera Presiden Indonesia Jokowi. Namanya mencuat ke langit biru Indonesia ketika diusung oleh Golkar sebagai cawapresnya Prabowo Soebianto.

Ingat ayahandanya Gibran, yi Jokowi, maka semua yang tadinya serba sederhana serba mudah diingat, ntah itu behaviour ntah itu intelektualitas ntah itu asal-usul keluarga ntah itu Iriana si Ibu Negara yang juga serba sederhana, tiba-tiba menjadi tidak sederhana lagi

Nama Gibran menjadi tenar menjulang dan nama Jokowi menjadi complicated  begitu usai sidang MK yang memutuskan anak bangsa bisa menjadi capres-cawapres di bawah 40 tahun sejauh pernah menduduki posisi kepala daerah atau pernah ikut pemilu. Bahwa itu adalah proyek Jokowi untuk melestarikan dinastinya dalam perpolitikan Indonesia.

Tak heran cukup banyak analist politik yang menyumpahserapahi hasil keputusan MK yang kemudian berujung lahirnya MKMK untuk mengadili siapa saja Hakim MK yang melanggar etika dalam mengambil keputusan MK.

Hasilnya. Melayang sudah jabatan Ketua MK Anwar Usman, yi paman Gibran yang dieksekusi MKMK. Anwar si pemutus anak di bawah 40 tahun bisa dicapres-cawapreskan itu tidak lagi menduduki jabatan itu agar tak ada conflict of interest dalam pilpres 2024.

Apakah kegaduhan itu reda. Ternyata tidak. Kalangan elite malah semakin ngegas. Petinggi PDIP seperti Hasto dan Adian menuding, itu semua ulah Jokowi dengan berbagai alasan tentunya, yang nggak jadi 3 periodelah, yang berkhianat terhadap PDIP-lah dst. Begitu pula kalangan oposan, khususnya para aktivis yang tadinya mendukung Jokowi tapi nggak kebagian kursi ntah di BUMN-lah, ntah di jabatan yang ditambahkan atau disisipkan di Kabinet-lah dst. Singkatnya, ramai sudah teater politik kita sekarang sejak Gibran resmi jadi cawapresnya Prabowo.

Tapi nggak sedikit pula yang menganalisisnya dari sudut lain. Dalam konteks ini saya sebagiannya setuju bahwa memang sejak awal reformasi, rakyat khususnya kalangan elite-lah yang salah. Mereka membiarkan negeri ini "tanpa road-map" dalam pencapres-cawapresan seseorang. Pernah Golkar mencoba konvensi capres di awal reformasi. Ternyata nggak laku. Ntah kurang sosialisasi atau bagaimana. Tapi yang pasti sepeninggal ujicoba konvensi itu, terbukti hingga kini road map itu tak pernah diperjuangkan "harus ada".

Jadi kalau timbul kegaduhan seperti sekarang ini, koq Jokowi yang dikambinghitamkan dengan segala macam alasan yang sesungguhnya mengada-ada, ketimbang mencoba memahami apakah Jokowi jujur, mengapa ia membiarkan Gibran disandingkan dengan Prabowo, mengapa ia seakan meninggalkan PDIP dst.

Jokowi tak pernah berubah, dan sejauh ini ia tetaplah figur terbaik di negeri ini. Sayang dalam kesederhanaannya itu, kita malah menjadi buta, karena tak tahu di balik kesederhanaannya, Jokowi sesungguhnya figur yang complicated. Ia punya visi yang jauh untuk bangsanya yang sampai saat ini belum juga jadi negara mapan seperti Jepang, Korea Selatan, Inggeris, Perancis dst. Ia tahu persis mengapa negeri ini belum sampai kesitu, dan ia juga tahu masih banyak PR yang harus dikerjakannya, tapi sadar bahwa PR itu harus berlanjut kepada penggantinya nanti yang terpilih dalam Pilpres 2024, sebab Oktober 2024 yad ia sudah harus lengser dari jabatannya sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline