Menghapus Budaya Toksik di Negeri Ini
"Toxic Culture" atau Budaya Toksik atau Beracun adalah sikap dan perilaku yang terbentuk, termasuk diskriminasi ras, gender, usia, dan status sosial; "online trolling" atau pesan dan komentar yang kontroversial, dan "cyberbullying" atau penggunaan teknologi komunikasi internet yang berisi pesan-pesan yang mengancam, merendahkan dan melecehkan, atau tekanan dan merendahkan pendapat yang berbeda.
Dalam masyarakat now, perilaku toksik tanpa kita sadari sudah tertanam dalam budaya kita, terutama bermanifestasi sebagai hiperkompetitif, intimidasi, marginalisasi, dan intoleransi.
Kita lihat misalnya di dunia internet kita sekarang dalam rangka Pilpres 2024 orang sibuk menafsirkan apa kemana nih ayunan kaki Presiden RI Jokowi. Lha Kaesang anak kemarin koq cepet banget jadi Ketum PSI, mentang-mentang anak Presiden. Lalu Gibran bakal jadi cawapresnya Prabowo setelah MK ketok palu bahwa usia di bawah 40 tahun bisa dicapreskan atau dicawapreskan sejauh telah berpengalaman menjadi kepala daerah. Ketua MK kan pamannya Gibran yang anak presiden itu. Ini lantas menjadi "bola liar" yang disebut politik dinasti bahwa sang Presiden sedang menyiapkan dinastinya di dunia politik jelang kelengserannya dari kekuasaan pada Oktober 2024 yad.
Tanpa harus bersuntan-santun di media sosial kita sekarang. Apapun yang dirasakan sebagai tekanan, apapun yang dipandang secara stigmatis, dan siapapun sosok yang berseberangan dengannya, akan dilabrak habis dalam budaya toksik. Urusan sakit hati dan pembalasan, itu urusan belakang.
Di belahan dunia lain pun demikian, di middle-east misalnya betapa saling membencinya Arab-Palestina dan Israel. Letupan yang terjadi di Gaza belum lama ini semakin mencuatkan kebencian itu, meski dikatakan Hamas tak sama dengan Arab-Palestina. Tapi di lapangan hanya terbaca permusuhan akut bahkan keji antara Israel-Arab Palestina. Tak peduli korban sipil di kedua belah pihak, Rashida Tlaib migran Arab-Palestina yang berkebetulan jadi anggota Kongres di AS, langsung meneriakkan yel yel cease fire. Dan menuding Israel sebagai teroris, sementara kekejian Hamas terhadap warga sipil Israel dilupakannya. Lalu tak sedikit warga Israel yang meneriakkan yel yang tak kalah garang yi mengusir orang Arab dari Gaza maupun tepi barat. Mereka harus kembali ke tanah Arab, sebab Israel bukanlah tanah Arab. Ini sahut-bersahut. Mulai dari kecil mereka sudah dijejali dengan toxic culture seperti ini. Begitulah duduk persoalannya konflik Arab-Palestina Vs Israel kalau dipandang secara seimbang.
Indonesia tak mau kalah. Menlu Retno yang menyertai Presiden Jokowi ke China dalam rangka Road and Belt terbang ke Jeddah Arab Saudi untuk mengikuti pertemuan luarbiasa OKI. Mengapa? Situasi Gaza gawat, katanya. Meski tak pasti apa sumbangsih Indonesia untuk mendamaikan Arab-Palestina dan Israel, kecuali mengutuk dan mengutuk Israel, seiring dengan demo anti Israel yang tak berkeputusan di Jakarta, tanpa pernah mau tahu apa yang sebenarnya terjadi disana.
Perlu reformasi hukum
Toxic Culture tau Budaya Toksik atau Beracun adalah kumpulan sikap dan perilaku negatif yang kompleks. Hal ini tumbuh di lingkungan di mana individu merasa tidak didengarkan, terancam, dan kehilangan semangat, sehingga menyebabkan stres emosional yang parah dan penurunan kepuasan hidup secara keseluruhan.
Mengatasi budaya Toksik memerlukan reformasi hukum dan administratif. Pemerintah dan segenap stake holdernya seharusnya mengenali dan memerangi segala bentuk toksisitas untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mencegah perilaku berbahaya. Itu antara lain menciptakan undang-undang yang lebih ketat terhadap pelecehan online atau peraturan tempat kerja yang melindungi karyawan dari tekanan dan intimidasi yang tidak semestinya.