Mencampakkan Sambal Goreng Pencapresan ala Indonesia
Pencapresan dalam rangka Pemilu Serentak 2024 sudah dimulai sejak awal tahun ini ketika Nasdem mengusung Anies Baswedan. Tak berapa lama kemudian menyusul PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo dan Gerindra yang mengusung Prabowo Soebianto.
Kalau Nasdem, jelas di samping menghitung nasib Partai ke depan ini agar bisa melampaui parliamentary threshold, Surya Paloh sang komandan sepertinya tak mau didului. Dengan jurus Hasan Tiro bermain pingpong dengan Jusuf Kalla, ia dengan sigap menyambar Anies ke pangkuannya. Dengan jurus serambi Mekah ini, PKS dan Demokrat langsung merapat, ngarep cawapres tentu. PDIP yang diberondong keresahan komunitasnya yang tak kunjung mencapreskan Ganjar akhirnya menyusul dengan mengusung Ganjar Pranowo setelah terpaksa membobokan Puan yang tak kunjung terdongkrak elektabilitasnya.
Gerindra kelihatannya tenang-tenang saja karena sang Bos adalah Menhannya Jokowi, sementara sang Presiden adalah besutan PDIP selaku The Ruling Party. Maka Prabowo telah lama mendiamkan Fadli Zon dan kader-kader Gerindra lainnya agar tak banyak cakap. Biar yang ribut di luar adalah kalangan intelektual yang tak kebagian Martabak Bollywood Kabinet seperti Rocky Gerung, Refly Harun dan sebangsanya. Barulah setelah PDIP mencapreskan dengan resmi Ganjar Pranowo, Gerindra pun mencapreskan Prabowo Soebianto.
Platform politik kita sekarang seperti itu. Parpol bisa mencapreskan sendirian sejauh presidential threshold 20% dipenuhi. Maka PDIP rada somsom sedikit dan cukup lama terlena dengan putri mahkota Puan Maharani. Apa boleh buat karena rakyat belum berkenan kepadanya, terpaksalah Ganjar naik. Sedangkan Gerindra, cukup satu parpol merapat, ia sudah bisa mencapreskan Prabowo. Lain halnya dengan Nasdem. Sekurangnya dua parpol lagi merapat, baru bisa mencapreskan Anies. So PDIP dan Gerindra nggak repot-repot amat.
Tiba gilirannya mencari cawapres. Ini sepertinya setengah mati meski tak mati-mati amat. Masalahnya penetapan cawapres di negeri ini harus mengikuti tanda-tanda kultural, entah itu gerak badan, entah itu ruwatan, entah itu kedipan mata dst.. Tak heran parpol yang unggul seperti PDIP dan Gerindra pengen lebih unggul lagi dengan mendapatkan cawapres yang aduhai dari segi kultural di mata massa pemilih.
Benarkah membaca tanda-tanda kultural seperti itu di zaman nuklir ini? Kalau dilihat dari kacamata prismatic society., tentu jawabannya fifty-fifty. Iya, karena betul sebagian masyarakat kita masih terikat simbol-simbol, tanda-tanda, dan pernak-pernik kultural lainnya, sekurangnya "tail coat effect" atau efek ekor jas dari patron-patron yang besar pengaruhnya di negeri ini.
Bahkan di AS yang sering disebut sebagai kampium demokrasi di portibi atau dunia ini, tail coat effect itu telah lama menjadi term politik dalam exercise of power, bahkan ada juga yang minta petunjuk dukun Indian Navajo atau Commanche atau Apache apa yang harus dilakukan sang capres agar bisa merebut hati pemilih. Bukankah ambisi ingin berkuasa itu adalah "binatang purba"?
Di AS, "binatang purba" ini sudah ber-evolusi menjadi "binatang berbudaya". Kalaupun ada saran bertanyalah kepada dukun Indian. Itu hanya satu-dua saja, sedangkan selebihnya bergantung pada tail coat effect dan bagaimana menyiapkan pendulangan suara di seluruh negara bagian. Maka, di AS penetapan cawapres adalah hak prerogatif sang capres tanpa harus heboh berkasak-kusuk ke sana kemari untuk mencari siapa nih yang pas karena ini itu dsb..
Pendaftaran capres-cawapres tak lama lagi di Oktober-November 2023, sedangkan pemilu (eksekutif dan legislatif) 24 Februari 2024. Apakah pencarian cawapres dengan koalisi-koalisian ala Indonesia akan semakin heboh?