Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Achtung Achtung: Tikus Got Kian Mewabah di Perkotaan Indonesia

Diperbarui: 13 Mei 2023   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tikus Got atau Tikus Norway atau Tikus Coklat.  Foto : viva.co.id

Achtung Achtung : Tikus Got Kian Mewabah di Perkotaan Indonesia

Sadar atau tidak kota-kota yang semakin bertumbuh besar dimanapun di negeri ini adalah rumah yang paling disukai Tikus. For now, dimanapun kita berada disitu ada tikus, dan celakanya itu adalah Tikus Got si kotor pembawa hama penyakit. Solusi untuk pemberantasannya tentu bukan minumlah coca cola. Tapi karena sibuknya berpacu menuju hidup modern berkesemakmuran, latah mengikuti istilah Anies, persoalan tikus got maupun tikus rumah malah lebih banyak diplesetkan sebagai peribaratan untuk wabah korupsi di kalangan krah hitam atau krah apa sajalah. Krah-krah dimaksud adalah tikus-tikus pengerat uang rakyat. Betul itu, kata si bungsu saya. Mereka adalah tikus-tikus got yang bersembunyi di balik birokrasi, bisnis kolutif, persekongkolan jahat untuk mengerat duit siapapun. Dasar beurit pasar siah, umpat mang Udin yang baru saja kehilangan laptopnya di kampus UI. Itu contoh tikus kecil. Lalu, tikus berdasi itu sudah dihukum, tapi vonis hakim koq ringan begitu ya, yang bener harusnya ditembak mati aja, kan korupnya milyaran rupiah, ujar seorang mahasiswa di sebuah pojokan kuliner belakang UI. Itu contoh tikus besar.

 

Coba kita telisik kota Depok, kita lihat persis di belakang kampus UI yang besar itu, ada yang namanya daerah Beji. Salah satu areanya yi Palakali persis di belakang UI, Disini tanah-tanah rakyat bukan lagi tanah perladangan atau perkebunan seperti tempo doeloe sebelum kampus UI dibangun, tapi sudah dipenuhi pemukiman dan kost-kost-an dengan berbagai tipe dan gaya. Tak ketinggalan penjaja kuliner yang beraneka macam, mulai dari yang bakulan, warmindo, warung-warung rumahan, hingga yang dikeren-keren-in bergaya now. Hiruk-pikuk di area ini melulu urusan akomodasi dan perkulineran untuk mahasiswa UI yang tak mesti dari luar Jawa, dari Jabodetak pun tak kalah banyak. Tak heran, sampah pun tak terkendali, dan got-got seringkali mampet.

Cobalah mengobrol di sebuah warmindo, atau warung rumahan yang lebih lebar sedikit yang menyediakan lauk-pauk rumahan. Sedang asyik-asyiknya anda bersantap disitu, pas selesai, dan pas menoleh ke samping, jancok ada makhluk lumayan gede sedang menatap anda seraya menggerak-gerakkan kumisnya yang rada panjang. Anda mungkin saja nggak kaget bahwa itu tikus, hanya begitu anda bangkit bergerak, hewan yang sudah terinstal di otak anda sebagai binatang pengerat yang jorok dan membawa bibit-bibit penyakit berbahaya itu langsung berkelebat. Anda mencoba celingak-celinguk, kemana nih tikus sialan. Pasti tak pernah terjawab, karena binatang satu ini luarbiasa piawainya bergerilya di titik-titik tertentu yang banyak sampahan makanan, apalagi kalau TPSnya membukit disitu karena ketidakdisiplinan gerobak sampah swasta yang dikoordinir preman setempat untuk memungutinya dan segera membuangnya ke TPA Beji (bukan TPA Depok) dan yang paling menggembirakan bagi gerombolan tikus got ini mereka ketemu gudang-gudang sembarang yang tak terurus untuk dijadikan istananya yang ke sekian.

Kalaulah kita sadar, itu semua sungguh menjijikkan dan menjengkelkan. Kemanapun kita berjalan di seantero Palakali belakang UI, nadanya dipastikan sama, yi padat, banyak penjaja kuliner, got-got di sekitar tak terpelihara dengan baik, dan celakanya banyak got dengan air yang menggenang begitu saja, ntah di mana kemiringannya agar air got terbuang, biasanya ke kali. Tapi seringkali nggak jelas lha dimana kali pembuangan itu.

Repot memperdebatkannya, karena ini seharusnya sudah termasuk dalam planologi kota Depok. Dengan kata lain, Pemkot Depoklah yang harus bertanggungjawab untuk mengawasi aturan main yang diberlakukannya, apakah warga dan developer taat asas melihat peta kemiringan tanah dan pembuangan limbah lingkungan dari jaringan drainase sekitar. Yang terjadi, perkembangan wilayah itu berjalan acak begitu saja seakan evolusi alam di hutan rimba sana, boro-boro taat asas sesuai tuntunan abc-nya planologi kota Depok.

Beralih ke Megapolitan Jakarta yang berpenduduk 11,2 juta sekarang. Ambil contoh Pasar Tanah Abang dan pemukiman penduduk di sekitarnya dan Pasar Senen, juga dengan pemukiman serupa di sekitarnya. Ini lebih menjijikkan lagi, karena tikus gotnya lebih banyak dan ngerinya tikus got Jakpus ini sudah tidak takut orang lagi, sampai-sampai di zaman Ahok-Jarot ada pegawainya yang digigit tikus got sampai harus dibawa dan dirawat di rumah sakit setempat.

Bergeser agak jauh sedikit ke Surabaya. Coba lihat di kawasan padat Jemursari, betapa tikus-tikus got tanpa ba bu lagi seringkali menyerang rumah-rumah warga, hingga ke bagian privacynya yi lemari pakaian. Bayangkan bagaimana nggak belingsatannya anggota keluarga disana. Hewan kotor pembawa hama penyakit itu tak perduli apakah pakaian itu bermerk Lanvin, Kenzo, Ascarelli, atau merk lokal ntah Johan, Tagor, Rinjani dst. Pokoknya sikat habis ndul. Sebodo amat soal privacy. Dasar tikus got. Itu cerita masa lalu saya ketika bertualang di Surabaya dan kebetulan landing di daerah padat merayap Jemursari.

Itulah gambaran faktual keadaan perkotaan di pulau Jawa. Di kota-kota lainnya tentu demikian juga, karena permasalahannya sama. Perkotaan yang semakin ramai, dengan penduduknya semakin padat, munculnya slum area yang tak terhindarkan, pembuangan sampah perkotaan yang tak selalu disiplin dan taat jadwal, dibarengi perilaku banyak warga kota yang tak terlalu perduli dengan kebersihan lingkungan. Inilah yang membuat tikus got semakin meningkat populasinya di daerah perkotaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline