Xi Jinping Meet Putin Memastikan Tatanan Baru Dunia Pasca Ukraina
Propaganda barat dalam krisis Ukraina harus diakui luarbiasa. Pers barat yang maunya bebas seperti burung di udara, terbukti memang bebas sebebas-bebasnyya dalam menyorot krisis Ukraina. Pokoknya nilai-nilai barat harus ada di bumi Ukraina. Sementara di bumi Amerika, mantan Presiden Trump baru dibuka gembok kebebasannya setelah dibungkam selama 2 tahun terakhir ini lantaran tudingan tak jelas menghasut penggagalan Biden menjadi Presiden AS menggantikan Trump.
Dalam kebebasan pers barat yang sebebas-bebasnya inilah standar ganda barat yang sering digaungkan timur maupun secuil di barat yang membuat kabar dari Ukraina jadi berat sebelah. Maka untuk mengimbanginya, kita mau nggak mau harus menoleh pers Rusia, China dan para sekutu lainnya, termasuk kaum idealis dunia yang maunya harus ada keseimbangan pemberitaan.
Perang Rusia Vs Ukraina yang sudah berjalan satu tahun lebih sedikit ini baru menghasilkan 2 republik merdeka di Donbass, yi Donetsk dan Luhanks. Ini dari sudut Rusia. Sedangkan Ukraina di bawah Zelensky yang didukung habis Nato dari balik kelambu Amerika belum juga melakukan serangan balik sebagaimana yang dijanjikan yang katanya akan merebut kembali Donbass dan Crimea, sekalipun Tank Utama Challenger, menyusul Leopard dan M1 Abrams sudah di depan pintu Ukraina.
Sampai disini kita lihat kebertahanan Ukraina tak lebih tak kurang hanyalah karena bantuan mesin-mesin perang Nato dari balik kelambu Amerika. Pembesaran berita dari kaca mata barat seakan Rusia tertahan dan mati langkah di Donbass dengan kerugian seribu satu macam. Itu bulshitt besar. Karena dari ceracau bebas pers barat itulah dunia dikelabui, sementara mesin-mesin perang barat berdatangan tiada henti. Industri persenjataan barat pasca Afghanistan pun berputar lagi. Itulah di balik kebebasan barat.
Barat menseolahkan lupa bahwa thesis Rusia di mandala Ukraina sejak awal adalah demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina, ditambah Ukraina harus mengurungkan niatnya untuk menjadi bagian dari aliansi Nato, karena Ukraina adalah Ukrania dan bukan Barat. Dengan mengecilkan Rusia dan menafikan kerusiaan Ukraina, barat malah tambah erat mencengkeram Ukraina, hanya belum sempat meNatokan Ukraina, karena Rusia yang tak sudi itu terjadi langsung mencecarnya sejak 24 Pebruari tahun lalu. Itu permasalahannya.
Untuk memuluskan kemenangan dalam perang Ukraina, koq harus repot seperti perang konvensional sekarang. Mengapa tidak menggunakan "depleted uranium" saja, baik untuk amunisi maupun untuk pelapis kendaraan lapis baja agar tak tembus peluru. Depleted uranium adalah uranium yang terjadi secara alami yang telah dilucuti dari radio aktifnya. Dengan kata lain depleted uranium adalah limbah dari proses pengayaan uranium untuk digunakan dalam pembangkit listrik tenaga nuklir dan senjata nuklir. Inggeris sedang mencobanya untuk Ukraina dalam rangka memuluskan kemenangan. Sedangkan Rusia sudah siaga nuklir sejak Nato melancarkan propaganda perangnya dengan menjanjikan MBT kelas satu buat Ukraina, termasuk Himars peluncur roket multiguna itu. Yang mengerti pemantik panas seperti ini langsung mengecamnya sebagai barbar, mengingat betapa buruknya dampak persenjataan itu ketika digunakan di Irak dan Kosovo.
Tapi bagaimanapun, kekuatan dahsyat nuklir AS-Rusia, itulah yang menjadi faktor deterrence selama ini yang mencegah terjadinya serangan nuklir pembuka dari kedua belah pihak, ntahlah kalau kekuatan nuklir itu di tangan orang gila yang sedang berkuasa. Siapa si gila itu. Terdeteksi si gila pertama ini adalah Inggeris yang telah memicu kemarahan Putin. Ini yang harus diingatkan AS kepada saudara sepupunya itu.
Maka kunjungan Xi Jinping belum lama ini ke Rusia, harus dilihat sebagai faktor penyeimbang opini baru di mandala Eropa. Ada semacam penegasan disitu bahwa Rusia sangat mampu menahan standar ganda barat seperti boikot ekonomi yang kelewat batas terhadapnya, juga provokasi nuklir yang telah dimulai oleh Inggeris, karena ada China yang besar di sisinya. Xi Jinping adalah sekutu sejati Rusia.
Apabila kita surut sedikit ke belakang, kunjungan Chi belum lama ini ke Rusia sebaiknya dilihat juga sebagai respon atas kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan akhir 2022 yang lalu.