Banyak yang menduga-duga Capresnya PDIP jatuh ke Prabowo-Puan dan bukannya Puan-Ganjar. Sementara Capresnya Nasdem Anies tak lagi digubris publik. Yang terjadi malah reshuffle kabinet dibesar-besarkan bahwa Menteri Nasdem akan segera digusur.
Sementara dari arah lain Gelora memunculkan capresnya Anis Matta-Fachri. Dan Cak Imin sepertinya sudah diback-up para kyai agar mensegerakan siapa capres-cawapres dalam koalisi ke depan Gerindra-PKB. Gerindra sendiri sudah dipastikan mengusung Prabowo sebagai capresnya.
Sedangkan Golkar tak lagi digubris publik sejak pengusungan Airlangga Hartarto sebagai Capres Golkar. PPP herannya didekati Sandi. Sandi sendiri baru saja berpose dengan Prabowo. Setia tegak lurus kepada Wowok atau bagaimana, Sandi yang baru saja tumbuh rambutnya sejak digundulin beberapa waktu lalu tak terbaca mau kemana sebenarnya. Dan PAN sepertinya lihat situasi.
Demokrat yang konon akan bertail coat effect ketika Esbeye turun gunung nanti. Tak terbukti. AHY-Anies atau Anies-AHY. Nggak jelas. Ini pun cenderung ditinggalkan publik.
Pencalonan capres dan cawapres sebenarnya baru 8-9 bulan lagi yi Okt'-Nop' 2023 yad. Kalaupun bursa capres sudah mulai ramai sejak awal 2022 lalu dan semakin ramai sekarang ini. Itu tak masalah asal jangan kebablasan. Yang kena semprit pertamakali disini adalah Anies yang sudah merangsek kemana-mana hingga ke Aceh. Ini mah kampanye n'dul, semprot Bawaslu.
Sementara dalam obrolan warkop, Fachri Hamzah berkomentar Nasdem sudah salah langkah. Boro-boro deklarasi bersama AHY, masalahnya bandar belum nongol. Fachri benar, bandar baru datang kalau katakanlah dukun politik bisa memprediksi Anies-AHY pasangan yahud yang bakalan menang di medan laga pilpres 2024. Dalam konteks ini Surya Paloh hanya sekadar mengeluarkan jurus kunyuk melempar buah dengan spekulasi Nasdem minimal tak rontok dalam pemilu legislatif yad, berkat tail coat effectnya Anies. Apa iya?
Masih dalam obrolan warkop, fenomena dalam perpolitikan kita bisa dianalogikan dengan kaum liberal dan konservatif di Amrik dan dunia barat pada umumnya. Bedanya kalau di Indonesia ada hantu ciptaan yang namanya komunis dan ada sosok lama yang dibikin seakan baru yi identitas. Sialnya yang bisa dijadikan tool dalam politik identitas disini hanyalah Islam, karena kebetulan menjadi kaum majority. Dia dapat menjadi tool karena ada avontur-avontur bayaran yang dapat mengendalikan massa di kantong-kantong tertentu yang mudah digiring sesuai apa maunya bandar yang membayar.
Nah capres yang bakal diusung kebanyakan berangkat dari kalkulasi ini. Katakanlah Wowok diusung jadi capres unggulan, maka sebagai liberal nasionalis dia akan mencari pasangan yang lahir dari rahim politik identitas katakanlah pasangannya dari PKB atau PKS ntah kyai keq atau yang telah distempel mati sebagai akhli agama. Sebaliknya kalau capres yang akan diusung dari kalangan konservatif, maka cawapresnya harus yang liberal kalau bisa super liberal sekaligus nasionalis sejati. Tapi khusus dari PDIP selalu muncul hantu PKI. Lawan politik dalam kontestasi akan bersikukuh bahwa kader PDIP yang diusung itu pastilah anak PKI atau sekurangnya ortunya terindikasi strangers yang berkamuflase jadi orang awak.
Obrolan warkop itu meski tak seratus persen benar, tapi wajib dicermati, karena toh fenomena politik itu bukan mengada-ada, tapi para elite politik sendirilah yang selama ini membuatnya seperti itu dan malah jadi interior utama dalam perpolitikan kita.
Tapi dalam konteks PDIP sepertinya fenomena ini sudah akan bisa dilalui, ibaratnya Ketum PDIP Megawati sudah siap dengan lampu halogen untuk melalui kabut tebal di puncak pas, dan haqqul yaqien menurut pak dukun nggak bakalan hujan hingga tembus nanti ke Cianjur dan Bandung.