Indonesia Dan Dilema Masyarakat Prismatik
Demo BEM-SI 11 April lalu sudah sepekan ini kita lewati. Masih beriak memang seperti Demo mahasiswa di sejumlah kota seperti Makassar, Palembang, Malang dll, tapi efek zombie-nya sudah jauh berkurang.
Bulan April memang seharusnya hening untuk pelembutan hati kita karena bertepatan dengan bulan ramadhan dan hari paskah, syukurlah aksi itu terhenti karena sebuah kuasa yang menggerakkan balik hati kita yang tadinya mengeras dan meledak sehingga Ade Armando nyaris berkeping-keping diamuk massa histeris di depan gedung parlemen kita.
Saya tak ingin mengungkap lebih jauh apa sih motif demo itu. Yang pasti penundaan pemilu 2024 ditolak, disamping kenaikan BBM dll. Itulah tuntutan mahasiswa. Kalaupun ada kecelakaan saya juga tak ingin tudang tuding ini itu begini begono. Mengapa? Tahu sendirilah, masih cukup banyak kantong-kantong masyarakat kita yang dihuni oleh kaum yang isi tempurung kepala dan mentalnya perlu dikaji dan dibuktikan di depan publik bahwa saudara-saudara kita itu perlu direformasi tanpa harus menunggu revolusi mental dari Mbak Puan.
Saya hanya ingin mempersoalkan kekerasan verbal di dunia medsos bahkan di media TV seperti TVOne, Kompas TV dll yang disinyalir akan terus membuahkan kekerasan jalanan dalam arti politik.
Lihat segala macam talkshow dimana ada Rocky Gerung, Ade Armando, Novel Bamukmin, Haikal, Eko Kuntadi, Deni Siregar dll. Dipastikan perbantahan yang terjadi dalam talkshow itu adalah tarik urat mati-matian yang tak pernah berkesimpulan kecuali dendam berkepanjangan. Apalagilah di medsos seperti Twitter, Facebook. Telegram dan sebangsanya. Tanpa tatap muka langsung, perbantahan di medsos jauh lebih sadis. Kalah argumen atau narasi terpatahkan, tak kurang akan ditautkan link-link pemukul, seperti Jokowi sebagai Jokodok, sebagai planga-plongo, sebagai ingkar janji. Pukulan balik serupa pun ada, ntah itu Anies sebagai gubernur serasa Presiden dst. Dari perspektif agama lebih ngeri lagi, mulai dari Rizieq : Yesus siapa yang melahirkan ya; sampai kalau ada tanda silang pada ambulance itu adalah jin jin dan jin, demikian provokasi Somad. Pukulan balik serupa pastilah ada, Allahmu itu nggak nyata, terbukti kalian masih terus mencari-carinya dalam keputusasaan dst.
Itulah kekerasan verbal di dunia virtual kita maupun di jagad nyata kita. Jadi tidaklah seimbang kalau ada yang menyalahkan total Ade Armando dengan narasinya selama ini sebagai dampak dari kekerasan verbal yang dilancarkan Ade melalui kanal YouTube-nya. Kalau itu tudingannya, bagaimana dengan narasi Rocky Gerung mulai dari agama itu adalah fiksi, narasi Refly Harun yang sejak minggat sebagai pendukung Jokowi kini anti segalagalanya tentang Jokowi, narasi Fadli Zon yang tak lebih dari mencerca apapun kebijakan pemerintahan sekarang, meski ada Prabowo Soebianto disitu.
Saya pikir, Ade adalah seorang intelektual yang mencoba melihat bangsanya dari logikanya sendiri dan pendekatan scientific sehubungan dengan posisi tetapnya sebagai Dosen di UI. Tokoh-tokoh intelektual sebangsa Ade cukup banyak, misalnya Guntur Romli, Eko Kuntadi, Deni Siregar dll. Tapi sejauh narasi politik, maka tokoh-tokoh intelektual ini langsung dituding sebagai kubu Jokowi dan yang bertentangan pikiran dengan mereka disebut kubu oposisi, meski kita tahu tak ada oposisi dalam sistem politik kita. Yang pasti ada yang mewarnai suara-suara keras disitu.
Juga tak masuk akal gegara pilpres 2019 indonesia terbelah dua yi Kubu Kadrun (Prabowo) dan Kubu Kecebong (Jokowi). Semua tahu sekarang bahwa kaum fundamentalis hanya dijadikan macan kardus saja di jalanan politik kita, agar konstituen terbelenggu menoleh Prabowo yang akan mengangkat harkat hidup mereka ketika terpilih jadi presiden. Buktinya Bowo kalah tak lama setelah sidang MK berakhir, tapi dirangkul Jokowi dan diangkat jadi Menhan dalam pemerintahan sekarang. Meski terlihat adem dalam tatanan, tapi tak kurang menyisakan barisan sakit hati di belakangnya.
Boleh jadi saya sefaham dengan Fahri Hamzah bahwa berpolitik itu adalah pertukaran ide. Tapi ketika dikatakan kita butuh seorang intelektual hebat untuk diangkat menjadi presiden kita dan presiden yang intelektualitasnya tinggi itu tidak lagi planga-plongo. Maka sayapun berpisah dengan Fahri. Soalnya jelas bahwa presiden adalah seorang pemimpin yang harus didukung rakyat. Bagaimana agar dia didukung mayoritas pemilih, tentu bergantung pada kepemimpinan dan track record dia. Intelektual hebat cukup banyak di negeri ini. Tapi hanya seorang Soekarno saja yang terpilih, karena memang tuntutan zaman yang butuh intelektual hebat orator hebat dan demagog hebat. Tapi zaman now, intelektualias yang wah bukan lagi ukuran terpenting untuk jadi seorang presiden. Tapi kalau dikatakan presiden harus dikelilingi oleh intelektual-intelektual hebat. Saya sefaham dengan Fahri disitu.