Kota Tarutung Bukan Kota Religi
Boleh jadi kota Tarutung di Tapanuli Utara (Taput) Sumut (Sumatera Utara) disebut sebagai Kota Religi karena terinspirasi dari Bukit Salib Siatasbarita. Salib Kristus yang menjulang tinggi di puncak Siatasbarita ini dibangun pada masa RE Nainggolan menjabat sebagai Bupati Taput pada akhir 1990-an - awal 2000-an. Salib tersebut penanda kedatangan Missionaris Ludwig Ingwer Nommensen pertamakali ke tano Batak. Konon dari puncak Siatasbarita inilah sang Penginjil Nommensen menatap Lembah Silindung dan lalu bertekad bahwa dia akan memberitakan Injil ke seluruh tano Batak melalui pintu masuk Tarutung yang terletak di Lembah Silindung itu.
RE Nainggolan si Penggagas dan si Pembangun Salib Kasih Siatasbarita lalu mencanangkan bahwa obyek wisata utama di Taput adalah Obyek Wisata Religi Siatasbarita, Tarutung.
Asal tahu, warga Tarutung sendiri tidak pernah merasa bahwa kota mereka adalah kota religi meski ada Salib Kasih dan Kantor Pusat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan - Gereja Batak Protestan) di kiri-kanan kota mereka.
Mereka sadar Tarutung sejak dulu adalah Kota Transit bagi para pedagang hasil hutan se-tano Batak sebelum mereka bertolak ke pelabuhan Barus (Sibolga sekarang) untuk bertransaksi dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, Timur Tengah dll. Terbukti sampai sekarang pun Tarutung tetap sebagai kota transit, maka tak heran apabila mental warganya adalah mental pedagang yang jauh dari karakter religius.
Sebaiknya berpikirlah agar kota Tarutung bisa dijadikan kota niaga hasil agro, hasil hutan sebangsa haminjon atau kemenyan, rotan dan aren, kerajinan dan industri rakyat se-tano Batak sebelum diperdagangkan secara inter insuler maupun internasional. Dan hambatan planologi untuk pengembangan kota Tarutung yang dihadapi daerah dingin ini karena batasan tanah adat, seyogyanya diselesaikan dengan melibatkan para tetua adat yang mengerti betul seluk-beluk tanah adat yang tak mudah dibebaskan itu, bahkan dengan tokoh-tokoh agama dari jajaran HKBP Pearaja Tarutung dan sekitarnya. Kalau hanya dari sisi pemerintahan setempat, terbukti selama ini tak menghasilkan apapun. Rakyat masih sulit membedakan mana kepentingan umum bahkan negara dan mana kepentingan mereka terkait legacy tanah leluhur itu. Apalagi kalau menyoal transisi dari hidup tradisional ke kehidupan modern yang serba big-tech masa kini. Tak heran kota Tarutung yang berposisi bagus di lembah Silindung itu tak pernah berkembang secara signifikan sebagai kota besar ibukota sebuah daerah otonom. Tapi ajaibnya program Prona atau sertifikasi tanah rakyat yang secara hukum adalah tanah adat bisa berjalan lancar. Bisa dipastikan itu adalah lalu lalang transaksi oknum-oknum BPN daerah dengan kepentingan perorangan, bukan komunal. Dengan keluarnya sertifikat untuk tanah-tanah tertentu yang di lingkungan keluarga besar pemilik tanah itu sendiri belum pernah dimusyawarahkan, maka tak heran beberapa dekade ini banyak terjadi friksi komunal yang tak perlu, seperti yang terjadi di Pangaribuan, Sipahutar, Garoga, Sipoholon, bahkan di kota Tarutung sendiri selaku ibukota Kabupaten Taput.
Nikson Nababan Bupati Taput dan Ketua DPRD Taput Poltak Pakpahan rajin memang melakukan "check on the spot". Nikson sering mengatakan di masa kepemimpinannya, ia fokus melakukan pembangunan di Taput dimulai dari Desa dengan meningkatkan Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp 60 juta per Desa sejak tahun 2016. Dia berasumsi kalau Desa kuat, otomatis kota juga akan berkembang. Tapi inipun sudah sering dilakukan para pendahulunya seperti Toluto bahkan RE Nainggolan si penggagas dan pembangun Salib Kasih di bukit Siatasbarita. Efek dongkraknya ya begitu-begitu saja. Dengan kata lain Tarutung tetap tak terakselerasi menjadi sebuah kota besar. Kalau sekadar bagi-bagi doku kepada wong cilik dan para korlap pemenangan kalau dia memang berangkat dari partai. Itu biasa, bahkan boleh dibilang itulah karakter politisi tempaan "kaderisasi kulkas" (ibarat comot coke dari kulkas) dan bukan "kaderisasi lapangan" (jungkir balik dari lapangan seperti Bung Karno tempo doeloe dan Budiman Sujatmiko zaman now). Lihat Anies di Jakarta dengan TGUPPnya yang banyak menghamburkan uang rakyat itu. Lihat juga Walikota Depok sekarang yang bagi-bagi uang serupa ketika memenangkan kontestasi sebagai petahana.
Sudah saatnya bagi warga Taput untuk membalikkan hal ini dengan fokus berpikir pada 2 hal pokok yi memindahkan ibukota Taput ke Siborongborong dan mengembangkan kota Tarutung sebagai kota administratif menuju kota otonom sesuai dengan undang-undang otda atau otonomi daerah.
Kota Tarutung tetaplah titik penghubung ekonomi yang penting di pedalaman Bukit Barisan baik secara historis maupun visi ke depan "tano Batak dignity" dengan telah semakin mantapnya infrastruktur perhubungan pariwisata di Lingkar Toba yang dikelilingi 7 kabupaten, termasuk Taput dan pulau Samosir. Asal tau, Lingkar Toba adalah 1 dari 10 destinasi utama wisata nasional yang ditetapkan pemerintahan Jkw, jauh sebelum BODT (Badan Otorita Danau Toba) berkinerja baik seperti sekarang.