Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

MODEL REKRUTMEN TRANSAKSIONAL DALAM SISTEM BIROKRASI INDONESIA

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_275893" align="aligncenter" width="500" caption="Presiden sedang melantik Menkeu pengganti Sri Mulyani"][/caption]

Dalam sistem politik & sistem birokrasi prosedural di negeri ini, person yg berkinerja tinggi & loyal terhadap tugas bisa saja setiap saat didegradasi karena pertimbangan transaksional (jualbeli jabatan) & pertimbangan subyektif lainnya yg secara terselubung menolak keharusan penerapan merit sistem dalam proses rekrutmen birokrat. Bagi mereka model rekrutmen yg fair & obyektif adalah merugikan. Tak ada keuntungan yg bisa dipetik dari model tersebut.

Sistem transaksional seperti ini sudah menjadi rutinitas utama dalam birokrasi Indonesia. Pembusukan birokrasi pun tak terhindarkan lagi. Hukum tak berdaya, lantaran para penguasa itu sendirilah melalui onderbouwnya yang memelintir hukum menjadi karet mainan dalam sistem hukum nasional. Lihat kasus Susno Duaji misalnya. Model rekrutmen  transaksional telah mengganjal karier putera-putera terbaik bangsa selama puluhan tahun terakhir ini di Indonesia. [caption id="attachment_275898" align="aligncenter" width="500" caption="4 birokrat utama musuh rakyat"][/caption] Bagi putera2 terbaik bangsa yg terdegradasi dengan model rekrutmen seperti ini, maka sia-sialah sudah semua Jasa & Pengorbanan yg telah mereka berikan selama belasan bahkan puluhan tahun dinas di suatu unit birokrasi tertentu. Dan model rekrutmen seperti ini dalam proses selanjutnya hanya menghasilkan pejabat-pejabat yg produktif melulu untuk diri dan kelompoknya saja dan samasekali tak produktif untuk Public. Mereka yg jahat dan tekebur atas nama jabatan politis sebagai Walikota, Bupati, Gubernur bahkan Presiden telah menutup matahatinya betapa dengan tersingkirnya putera-putera terbaik bangsa dari pentas pemerintahan maka konsekuensinya KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme) yang sudah akut itu semakin kebal terhadap aspirasi perubahan untuk kemajuan bangsa. Fit and Proper Test pernah memang digembargemborkan di awal reformasi. Tapi kenyataannya uji kelayakan tersebut adalah transaksi politik dalam bentuk lain. Tak ada pun Visi, Prestasi & Jiwa Kerakyatan dari para calon yang diuji disitu. So what? [caption id="attachment_275908" align="aligncenter" width="492" caption="Tumpukan uang yang menggiurkan"][/caption] [caption id="attachment_275903" align="aligncenter" width="500" caption="Mobil mewah pejabat yg dipersoalkan"][/caption] [caption id="attachment_275902" align="aligncenter" width="500" caption="Koruptor Buronan Kejaksaan Agung"][/caption] Kalau model rekrutmen transaksional seperti ini terus dipertahankan dalam sistem nasional Indonesia, maka tak bisa lagi dihempang bahwa negeri ini akan semakin miskin dan akhirnya tenggelam, karena tak ada lagi Parhobas (Pelayan) yg benar2 melayani rakyat. Yang ada hanyalah birokrat-birokrat tak bervisi dan tak berjiwa yg bekerja hanya untuk melayani Daulat Tuanku dan bukan untuk melayani rakyat. Medan, 02 Okt' 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline