Budaya WC dan Sampah
Kalau di Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan Makasar. Kita barangkali sudah terbiasa melihat tumpukan sampah di TPS dan tumpukan sampah yang tersangkut di pintu-pintu air kota.
Karena sudah terbiasa, maka kita pun tidak merasa perlu lagi menutup hidung kita yang pesek atau yang mancung itu.
Begitu pula di WC-WC Umum Kota. Betapa terbiasanya kita dengan bau busuk WC-WC Umum kita. Bahkan di kantor-kantor pemerintah sendiri dan yang sangat keterlaluan di sejumlah tempat ibadah. Betapa pesing dan busuknya WC-WC kita disana. Tempat publik selalu begitu di negeri ini. Yang terbilang bersih hanya bilangan jari saja dibandingkan begitu luasnya ruang publik di negeri ini.
Kita? O sudah sangat terbiasa dengan semua itu dan sepertinya tidak perduli lagi dengan semua aroma pesing dan busuk di sekeliling kita. Ah, itu kan wilayah publik. Emang gue pikirin.
Kita memang sudah lama familiar dengan segala aroma busuk seiring dengan merosotnya disiplin nasional dan terdegradasinya moral bangsa selama 3 dekade regime Soeharto, bahkan hingga kini di zaman pandemi-nya Jkw.
Kita hanya pandai meneriakkan tegakkan hukum dan keadilan serta berantas korupsi sampai ke akar-akarnya tanpa pernah tahu bagaimana caranya mengawal ketat agar keharusan seperti itu bisa menjadi praxis dalam kehidupan sehari-hari. Karena kita adalah bangsa berpatron, maka ini tentu masalah patronase bangsa di semua level.
Kita selalu terlambat dalam segala hal. Kita terlambat menyadari Global Warming dan malah nekad menggunduli hutan-hutan kita tanpa kenal ampun.
Di masa Jkw sekarang? Sang presiden malah dibully dengan kata Jokodok atau Jokodol. Urusin saja tol lautmu itu dol, kilah sejumlah oposan yang berkepentingan dengan penggundulan hutan demi si ratu sawit. Global warming? Itu kan hanya isu dari negara-negara kaya di dunia barat sana, apa urusannya dengan kita. Lagi-lagi, emang gue pikirin.