Bermula dari iseng dan beberapa cerita dari teman-teman yang sudah melakukannya,akhirnya suatu ketika aku ikut dalam kegiatan tersebut. Pertama yang saya rasakan adalah rasa cemas,tidak pede,takut dan berbagai perasaan galau,risau campur aduk jadi satu.Tetapi, setelah beberapa teman yang saat itu ikut meyakinkan hatiku,pelan-pelan akhirnya keberanianku mulai tumbuh dan berangsur-angsur menjadi semangat.. Saat itu,semua perlengkapan dan peralatan serta bekal telah ku siapkan selengkap-lengkapnya………… Pembaca yang budiman,sungguh saat aku minta ijin kepada orang tuaku(saat itu usiaku 18 tahun),mereka sangat tidak setuju dengan gagasanku itu,dengan alas an tidak berpengalamanlah,masih bocahlah,sangat berbahayalah ,dan masih banyak komentar yang justru menurunkan semangat dan keberanianku.tapi karena aku telanjur berkemas dan niat yang sudah bulat akhirnya aku nekat pergi dengan sejuta kekawatiran orang tuaku. Setelah berkumpul di suatu tempat yang sudah kita janjikan,dengan seabreg peralatan dan perbekalan yang sangat lengkap aku dan teman-teman akhirnya menuju sebuah pegunungan yang cukup indah di daerah jawa tengah…yaitu Gunung Merbabu. Yaa….saya ikut petualang pertama kali mendaki puncak gunung dengan sebuah kelompok pecinta alam dalam grup yang sudah lumayan jam terbangnya di daerahku. Saya tidak akan bercerita panjang lebar bagaimana perjalanan kami mendaki,tapi saya akan bercerita pengalaman pertamaku ini kepada teman-teman yang lainnya saat kami berhasil menaklukkan puncak Merbabu di tahun 1993. Tapi,apa yang terjadi….tidak seperti yang aku bayangkan,mereka pasti sangat antusias mendengar ceritaku atau decak kekaguman terhadapku,justru kebalikannya. Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya. Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!” Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!! Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama. Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika. Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan. Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup. Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup. Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya. Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian. Di atas tadi adalah salah satu cerita teman dalam menilai dan memberi pengertian terhadap komunitas pencinta alam.Kembali ke pengalaman saya,saat saya mulai ketagihan lagi untuk kembali naik gunung yang lainnya lagi…di saat itulah saya mempunyai sebuah pengalaman pribadi di saat saya mendaki gunung. Ketika dalam perjalanan saya di tengah rimba nan liar di mana kesunyian dan ketentraman tercipta dalam sekejap…aku menikmatinya dengan secangkir teh hangat dan sebatang rokok di kala istirahat.Sungguh ada dunia tersendiri membalut sanubariku… Sejak saat itu,aku menjadi keranjingan lagi untuk bercinta dengan alam liar dan menjadikannya sebagai tempat berlari dengan segala kepenatan diriku….. Dan…mungkin giliran anda bercerita dengan kami,saling berbagi cerita dan pengalaman…. Terima kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H