Ada kalangan yang mencoba menggoda Presiden Joko Widodo tentang persoalan polarisasi kebangsaan. Kalangan itu menggagas bahwa perlunya menyatukan calon-calon pemimpin tertentu dalam kontestasi pilpres 2024 dengan alasan demi menghapus polarisasi Bangsa, begitu menurutnya. Pastilah maksudnya agar Presiden mau melakukan pendekatan kepada ketua suatu partai politik terbesar yang belakangan memiliki kader istimewa di mata publik berdasarkan hasil survey, yang diduga bakal menjadi pesaing berat bagi capres yang dijagokan kalangan penggagas. Belum perlu disebutkan siapa dia. Karena itu tidak perlu lah melakukan upaya perdayaan seperti itu, hanya karena demi memuluskan pencapaian tujuan menenggelamkan pesaing berat tertentu, lalu mencoba "menanam labu" alias mengelabui rakyat untuk sebuah keuntungan kelompok tertentu. Maju dalam pilpres sambil menunggangi kuda hitam.
Polarisasi bangsa itu akan tetap ada selama provokator rendahan berikut ormas penggembiranya bergelora menyerukan cita-cita politik dalam kemasan agama atau ideologi baru sambil memasang tarif rendah pada bohirnya baik yang ada di dalam negeri maupun yang berada di seberang samudra Pasifik. Mereka tak akan berhenti menggoyang Negeri ini sepanjang kepentingan mereka untuk menghancurkan stabilitas NKRI itu ada. Jadi, sebaiknya tolong hentikanlah wacana mempersatukan pesaing berat sebagai cawapres dari capres manapun yang justru membekas pada dirinya sebagai figur yang lengket dengan simbol politik identitas bawaan masa lalu.
Kalau mau membenahi persoalan polarisasi bangsa, maka lebih baik mendorong dan memback up Pemerintah untuk "menghapus" para provokator dan para perawat provokatornya secara tuntas. Jangan lagi memainkan politik identitas secara membabi buta. Justru sebaiknya mengembangkan cara-cara yang fair, sportif dan beradab. Jauhkan fitnah, kebohongan, dan politik adu domba.
Justru dengan adanya gagasan menyatukan tokoh politik tertentu dalam kontestasi pilpres, malah hanya akan mempertajam penandaan bahwa benarlah satu di antara calon pemimpin itu tak dapat disangkal lagi merupakan figur yang selama ini melekat pada dirinya sebagai pengusung politik identitas. Itu yang justru selama ini sering menimbulkan keresahan masyarakat. Maka jangan berharap persoalannya mudah diselesaikan di meja makan.
Negara perlu mengantisipasi suatu kemungkinan ketika gagasan menyatukan tokoh yang dikatakan sebagai upaya penghentian polarisasi bangsa itu ternyata tak mendapat respon positif dari banyak kalangan, maka boleh diduga bisa muncul kecenderungan munculnya pihak-pihak yang akan mendorong upaya pembenaran terhadap pandangan kalangan penggagas, yaitu lewat pergerakan yang mempertajam polarisasi bangsa.
Maka warna dan bau busuk hiruk pikuk pilpres di tahun 2014 dan tahun 2019, serta pilkada DKI tahun 2017 diduga akan dimunculkan kembali di tahun 2024. Kalau sudah begitu maka akan muncul kalimat yg bersifat menyalahkan pihak tertentu, "Apa kata saya juga... Tidak mau terima gagasan saya sih...".
Jika itu terjadi maka pastilah rakyat jadi merasa muak dibuatnya. (Medy P Sargo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H