Lihat ke Halaman Asli

Parhorasan Situmorang

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Guru Eksplorator Juga Memposisikan Diri Selalu Sebagai Murid

Diperbarui: 30 Juni 2017   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru yang memuridi adalah guru yang eksplorator (Foto: dok. pribadi)

Guru merupakan sosok yang (harus) terus menerus membenahi diri. Karena seluruh teori pendidikan dan semua pengalaman selalu tertinggal (paling tidak) satu langkah dibanding realitas terkini murid-murid di kelas.

Inilah alasan mengapa guru seyogyanya tidak (sekedar) memuridkan murid-muridnya. Guru membuka ruang hati dan akalnya seleluasa dan seluas-luasnya. Itu memungkinkan mengalirnya energi dan wawasan baru menopang sikap menyikapi perkembangan (paling terkini) murid. Guru menjadi mudah menyerap informasi dari bahasa verbal dan bahasa tubuh murid. Dia belajar dari murid. Ketika guru sedari awal menjaga diri untuk tidak cuma memuridkan para muridnya maka dia tidak membangun benteng demarkasi (baca: dia adalah guru yang wajib dan harus lebih pintar dari muridnya di semua hal). Dia justru membuka kemungkinan bahwa murid bisa saja lebih mumpuni dan lebih menguasai ilmu pengetahuan tertentu atau informasi tertentu dibanding sang guru. Ini kawah kondusif menggelorakan guru eksplorator dan murid eksplorator.

Guru yang menghadirkan diri di kelas sebagai manusia pembelajar menjadi alas kokoh menghadirkan suasana katalis bagi para murid. Itulah mengapa guru yang terkemuka perannya adalah katalisator.

Memuridi

Ketika guru merilis diri sebagai murid (juga) bagi muridnya, itu merupakan ruang terbuka hijau bagi tumbuh suburnya dialog belajar dua arah. Guru memuridi muridnya berdampak pada banyak hal. Dia egaliter terhadap murid tetapi tetap berwibawa dan berkarisma di hadapan para murid. Memuridi juga berarti guru menyadari dirinya adalah gelas setengah kosong yang harus terus menjadi murid bagi sebanyak-banyaknya sumber belajar. Baik itu buku, televisi, menonton film, studi banding, berdialog formal maupun lebih diperbanyak dialog informal dengan seluruh kalangan masyarakat. Rajin berbincang dengan orangtua, bertukar ide dengan sesama guru, dan saling menghebatkan. Semangat memuridi menjadi daya pengingat untuk tidak terjebak sok pintar dan penuh gengsi, guru tidak boleh salah.

Memuridi memposisikan diri selalu sebagai murid. Tatkala di depan kelas semangat “selalu menjadi murid” mendukung pemahaman bahwa, “Saya guru berada di depan kelas bukanlah karena lebih pintar, melainkan karena lebih dulu lahir, lebih dulu mempelajari dan mengetahui sebuah ilmu dibanding para murid, dan (kini) tugas saya membagikan ilmu itu kepada murid saya. Bersamaan menyadari bahwa (adakala) di antara murid ada yang lebih dulu mengetahui sebuah informasi atau ilmu pengetahuan lain, dan tugas saya mendorong mereka mau membagikannya kepada teman-temannya termasuk kepada sang guru”.

Jadi ruang kelas menjadi arena berbagi ilmu dan informasi tanpa ada yang merasa lebih pintar dan murid lebih bodoh dari sang guru. Masing-masing terbuka bertukar peran sang guru secara dejure adalah guru, tetapi secara defacto dia bisa menghadirkan diri sebagai murid bagi muridnya (yang lebih dulu tahu sebuah ilmu atau informasi). Murid itu tetaplah murid tetapi defacto dia adalah guru saat membagikan ilmu informasi yang dikuasainya.

Guru dan murid hanyalah status dejure administratif. Di realita (di dalam kegiatan belajar mengajar) guru dan murid tidak absolut dengan posisinya. Masing-masing bisa menukar peran sesuai situasi kondisi yang realistis. Guru memuridi muridnya. Murid memuridi gurunya. Silih berganti, tentu lebih sering guru dalam posisi sebagai guru. Karena niscaya sang guru lebih banyak dan lebih dulu mengetahui sejumlah informasi dan ilmu pengetahuan. Guru juga menjadi pendamping menjadi seorang kakak, menjadi pandawa, bukan menjadi penggawa yang menjadi peluncur me-launching kerumitan belajar di kelas. Melainkan harus sebagai penyegar, sebagai sosok katalisator bagi murid-muridnya.

Tatkala di ruang kantor guru, atmosfir dominan adalah guru di bawah struktural administratif. Namun sesudah memasuki kelas, bertatap wajah dengan para murid, sang guru sebaiknya menanggalkan atmosfir struktural administratif itu. Kemudian perhatikanlah hasilnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline