Gerakan literasi seyogyanya terlebih dahulu berdamai dengan realitas: anak-anak belum suka membaca. Realitas ini membuat seluruh penjelasan pada panduan gerakan literasi sekolah yang disusun rapi dengan kalimat bagus itu menjadi terkesan bertele-tele dan muluk-muluk. Episentrum gerakan literasi adalah menggugah minat membaca anak. Seluruh sumber daya dan dana dikonsentrasikan di sini saja dulu. Apabila terlalu melebar berpotensi menjadi gelembung udara. Gerakan literasi bukanlah sebatas jargon verbal yang diteriak-teriakkan bak mantera nan ajaib mujarab instan langsung mencapai target seperti yang ditulis dalam panduan.
Panduan Gerakan Literasi Sekolah sendiri dibaluri dengan narasi salah kaprah. Simak deretan kalimat ini yang terdapat pada penghantar panduan: Kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai.
Ini merupakan narasi perlu dikoreksi, terkesan tergopoh-gopoh membuat rumusan. Pertama, perihal membaca buku nonpelajaran.Apa yang disebut buku nonpelajaran? Bukankah semua buku adalah pelajaran bagi yang membacanya? Mengapa muncul dikotomi nonpelajaran dan pelajaran? Apa sebenarnya pengertian buku?
Kedua, perihal sebelum waktu belajar dimulai.Apa pengertian waktu belajar? Apakah membaca buku bukan sebuah suasana belajar? Artinya, ketika membaca buku itu siswa sudah memasuki waktu belajar dalam bentuk membaca buku.
Ketiga, perihal kegiatan 15 menit. Ini kalimat monoton terpengaruh pemikiran birokratis. Mengapa harus 15 menit? Ini kan mengikuti pola monoton, 5, 10, 15, 20 menit. Padahal yang namanya gerakan itu bermakna “mengajak oranglain”. Jadi untuk mengajak oranglain perlu sadar sengaja memilih kata-kata yang bertenaga dan kreatif. Jelas lebih kreatif dan bertenaga mengevokasi ketika menggunakan, misalnya, 16 menit, 17 menit, atau 18 menit. Keluar dari pola, angka-angka ini menjadi lebih segar terdengar di telinga siswa. Motivasinya pun menjadi lebih segar bugar. Ini merupakan bagian daya evokasi menggugah minat membaca siswa. Atau bisa juga memakai sebutan kreatif yang lain, misalnya, 3 x 5 menit. Walaupun hasilnya sama-sama 15 menit tetapi daya “mengajak” terasa lebih kuat dan kreatif kedengaran di telinga siswa. Hal-hal seperti ini terkesan sepele padahal punya pengaruh karena lebih komunikatif. Ini juga mengonfirmasi bahwa pengambil kebijakan publik dan penggerak literasi harus banyak berdiskusi, membaca, dan mengobservasi.
Realitas terkini
Minat membaca terutama di sekolah dasar masih rendah. Plus pada sisi lain ada godaan dan ketagihan dari keberadaan gadget, playstation serta televisi. Anak-anak juga masih lebih suka bermain. Nah, karena mereka belum suka membaca maka menghadirkan buku gratis tidaklah cukup. Pada keadaan seperti ini buku menjadi seperti nasi putih. Katakanlah kepada anak-anak: “Nak, ini nasi putih penting bagi tubuhmu. Kamu harus makan karena nasi putih mengandung karbohidrat yang diperlukan tubuhmu supaya sehat dan bisa bertumbuh. Nasi putih sumber energi bagimu untuk bisa beraktivitas.” Lalu minta sianak memakan nasi putih itu. Pastilah sianak itu tidak mau memakan nasi putih. Sianak tahu bahwa nasi putih itu bermanfaat. Tetapi pengetahuan itu tidak cukup memaksa dirinya untuk melahap nasi putih di piring. Nasi putih itu perlu diberi lauk-pauk dan sayuran yang enak. Supaya sianak tertarik dan berminat memasukkan ke mulutnya, mengunyah, menelan, dan menjadi darah daging.
Serupa halnya dengan buku, kita jelaskan: “Nak, membaca buku itu penting supaya kamu jadi anak pintar, bisa mencapai cita-cita, tidak ketinggalan informasi, dan mampu mengeluarkan pendapat. Coba lihat itu banyak orang besar meraih sukses karena suka membaca buku.” Lalu minta sianak membaca. Tidak otomatis sianak mau membaca. Buku itu perlu diberi lauk-pauk yang enak dan lezat. Berupa game edukasi, kuis, atau diawali membuat suasana petualangan penuh rasa penasaran berbasis buku, misalnya. Perlu mendesain rasa suasana yang mendorong anak-anak menjadi “lapar” buku kemudian membaca dengan lahap. Pokoknya improvisasi yang berkelanjutan. Di sisi awal membuat mereka tertarik dan di sisi lain membuat mereka tidak cepat bosan lalu mengalihkan minat. Keberhasilan menggugah minat baca menjadi pencapaian spektakuler.
Jadi yang diperlukan dalam gerakan literasi adalah akumulasi kegiatan kreatif kaya improvisasi. Itu artinya perlu durasi yang lama. Durasi yang lama dan kreatif improvisasi berkelanjutan itu artinya perlu kesabaran. Orang-orang yang memiliki kesabaran melimpah-ruah ini yang susah ditemukan. Seumpama menanam tumbuhan ini bukan menanam padi yang bisa panen 3 bulan tetapi menanam pohon jati yang baru bisa panen sesudah bertahun, perlu penggiat nan tekun.
Menggerakkan literasi sekolah haruslah sabar ceria bergelora gagasan. Narasi bagus di buku panduan tidak berdampak apabila penggerak tidak memahami realitas terkini. Untuk saat ini ukuran riil kesuksesan gerakan literasi tidaklah dari seberapa bagus dan detail narasi pada buku panduan, melainkan seberapa kuat kesadaran tentang realitas rendahnya minat membaca serta seberapa banyak upaya improvisasi untuk mampu menggugah sebanyak-banyaknya anak. Seberapa banyak manusia berpindah dari tadinya belum suka menjadi suka membaca. Kesadaran, kesabaran, dan kesegaran aktivitas akan menjaga gerakan literasi tidak sekedar gelembung udara. Perhatikanlah gelembung udara, tampak menarik, menggelembung, namun ketika gelembung pecah isinya kosong melompong.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H