Di peta sastra Indonesia, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya dikenal luas sebagai novelis mumpuni, tetapi tidak dikenal sebagai penyair. Salah satu puisinya yang terlacak adalah puisi yang berada satu kanvas dengan lukisan yang dibuatnya. Pada lukisan itu di hamparan tampak seorang manusia bernama Thalib berdiri, sendirian, ada siluet bayangan tubuhnya di pantai. Di hadapan si Thalib, ada goresan pena Mangunwijaya:
Hening ingin di bising badai
Nahkoda
Kan menyerah
Terundung tanya damba damai
Rahmat di balik gelisah
Menyentuh
Si Thalib
Setia satu-satunya syukur
Puisi “kata-kata” yang ditulis Mangunwijaya memang sedikit. Namun, apabila kita menyimak filosofi Mangunwijaya ketika mengarsiteki sebuah bangunan, dan cara dia memandang sebuah bangunan, serta defenisi puisi, sesungguhnya Mangunwijaya adalah penyair besar dengan puluhan karya puisi yang bahkan mendapat penghargaan internasional, salah salah satunya di kawasan Kali Code Yogyakarta yang meraih penghargaan Aga Khan. Karya arsitekturnya di Kali Code adalah puisi.
Puisi tidak di sisi lawan prosa, tetapi di sisi oposisi terhadap yang wadaq teknis kalkulatif melulu. Wastu pada ketiga-tiganya, teknik, prosa, puisi. Tetapi bila arsitektur wastu ingin berpredikat manusiawi berkualitatif tinggi, ia tak pernah akan melupakan puisi. Puisi yang telah menjadi wastu.