Lihat ke Halaman Asli

Kampung Inggris, Kampung Impian Buah Pena dari Seorang Sahabat

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1351141469782933260

Muhammad adianto namanya, namun lebih akrab aku memanggilnya dengan panggilan Antoe. Ya, pemuda paruh baya inilah yang banyak menginspirasiku untuk menginjakan kaki ke Pare, yang kemudian orang-orang sepakat menamainya Kampung Inggris. Sebenarnya jauh sebelum Antoe mencatatkan namanya sebagai alumnus kampung Inggris, aku sudah pernah mendengar kabar tentang desa itu dari beberapa guruku. Namun, waktu itu berita tentang kampung inggris baru sebatas dongeng penghibur semata, ya sebagai bumbu penyedap dalam pelbagai perbincangan di dalam kelas bahasa inggris.

Antoe, aku mengenalnya bukanlah termasuk orang yang bersahabat dengan bahasa inggris, bahkan sesekali pernah ku dapati pemuda kelahiran Timor-Timor ini absen dari mata pelajaran bahasa inggris. Entah itu karena alasan izin sakit ala santri ataupun karena memang terlalu asyik bercengkrama dengan seperangkat bantal dan kasur.

Bukan kampung inggris namanya, jika menghadapi tantangan orang seperti itu saja tidak bisa. Ataupun mengubah mindset para pegunjungnya from hate to love english. Suasana di kampung inggris pun dapat menjadikan bahasa inggris menjadi our habit. Seperti yang terpajang di sebuah banner milik Global English , salah satu lembaga kursus yang ada disini dengan jelas dituliskan “ It’s no matter we speak different language,or we come from different culture.Isn’t too important who you are or where you are’’, yang terpenting adalah memiliki keinginan belajar bahasa inggris. Karena ditempat inilah kita akan didoktrin untuk lebih sering mengucapkan kata “Yes we Can” dan akan dijauhkan dari kata-kata negatif yang justru akan membelenggu, ya seperti kata-kata “gue nggak bisa ato gue emang udah stupid dari sononya”.

Hari demi hari kulewati sambil sesekali merenung dengan tatapan yang dalam, ”Kapan ya gue bisa ngelmu ke kampung inggris juga, ntar pulang-pulang udah cas cis cus kea mas-mas yang ada di tipi-tipi itu loh (eits..maksudku kea mister-mister bukan mas-mas,..dikira tukang angkot kali yee..^_^)

Ya, impian baru itulah yang mengubahku menjadi orang yang hemat seketika, tak jarang perut pun menjadi organ tubuh yang paling terintimidasi oleh kehematanku demi menggapai impian baruku (Kampung Inggris). Maklum aku memang bukan berasal dari kalangan yang serba ada, yang dengan sim salabim semua keinginan bisa langsung terwujud, ditambah lagi aku dan adikku bersekolah di tanah Jawa yang jauh dari orang tua.Mungkin para pembaca sekalian sudah mafhum dengan bagaimana kehidupan di daerah ibu kota dan sekitarnya, (mohon maaf) sampai kencing pun harus bayar. Hanya orang-orang yang memiliki kelebihan lah yang mampu bertahan hidup di daerah ini, mulai dari kelebihan harta, ilmu , mental, ataupun kepercayaan dirinya yang berlebihan alias tidak mempunyai rasa malu lagi.

Rasanya  tidak ada cara lain kecuali menghemat uang kiriman dari orang tua. Jika tidak, kampung inggris hanya akan menjadi goresan tinta kecil yang menghiasi lembaran kertas diary ku semata. Pasalnya kampung inggris memang sudah menjadi cita-citaku sejak masih berseragam putih-biru.

Awal Mei 2012 aku dan beberapa orang rekan seperjuanganku waktu mengenyam bangku SMA, terlibat perbincangan kecil mengenai mau diisi dengan apa liburan panjang kami ini, sembari menunggu pengumuman hasil Ujian Nasional keluar. Sehingga ada salah seorang dari kami yang mengusulkan bagaimana jika liburan pasca UN ini diisi dengan mengunjungi “England van Java”. Yups, bagaikan memasukan kunci ke dalam gembok. Cucok bangetz,(truss gue harus bilang jokowow geto). Akhirnya kampung inggris yang sedari dulu memang menjadi bagian dari mimpiku, ternyata mulai muncul kepermukaan, menjadi trend topik pembicaraan kami sore itu. Dengan bermodalkan semangat kekeluargaan yang tinggi, meski satu orang pun diantara kami belum ada yang pernah menginjakkan kaki ke “Planet Impian” yang bernama kampung inggris Pare-Kediri. Namun hal itu tidaklah menyurutkan semangat kami yang memang sudah sering dibakar oleh manuskrip-manuskrip sejarah para pejoeang ’45 ataupun semangat jihad perang Badar. Sekali layar terkembang,pantang badan memutar haluan. Atau biasa kami menamainya Jurus Tandur (Maju Terus Pantang Mundur).

Setelah terlibat perbincangan yang cukup lama, akhirnya sore itu kami sepakat untuk berencana mengeroyok kampung inggris dengan jumlah serdadu kurang lebih 9 orang.^_^ Tentu sore itu pembicaraan kami baru berkutat pada sebatas perencanaan sedangkan waktu keberangkatannya akan dieksekusi 2 buan yang akan datang. Ya, begitulah jika para remaja “Laskar pelangi” sedang menyusun sebuah perencanaan yang membutuhkan biaya yang cukup lumayan, tentu tidak bisa serta merta langsung terwujud. Butuh loading terlebih dahulu. Nampkanya lirik lagu dari mas Bondan Prakoso sangat seirama dengan perjalanan cita-cita besar kami. Hidup berawal dari mimpi. Ya, memang untuk sesuatu yang harus ditunda terlebih dahulu, kami biasa memimpikannya terlebih dahulu.Toh, Nabi Yusuf as pun pernah bermimpi ada 11 bintang,matahari dan bulan yang ‘’bersujud’’ padanya, yang mana dikemudian hari mimpi itu diwujudkan dengan ditunjuknya beliau menjadi Mentri perekonomian Mesir pada waktu itu yang disertai dengan sadarnya para saudara beliau yang telah membuangnya kedalam sumur ketika masih kecil.

Bermimpilah! Karena tidak ada satu undang-undang pun yang melarang anda untuk mempunyai impian. Teringat dengan nasehat yang pernah disampaikan oleh seorang guruku yang mengatakan “Gantungkanlah cita-cita (impianmu) setinggi angkasa, karena sekalipun kamu terjatuh maka akan jatuh diantara bintang gemintang. Filosofis dan sarat akan makna.

Pertengahan Mei 2012, perizinan pulang pun tiba. Masing-masing dari kami pun bertekad untuk kembali ke sekolah pada akhir Juni. Selain untuk menghadiri acara pengumuman kelulusan, juga ingin merealisasikan planning yang telah kami susun, yakni English village.

Hari-hari berlalu begitu cepat, tak terasa sudah hampir satu setengah bulan keberadaanku dirumah, hingga 3 hari menjelang keberangkatanku untuk  kembali ke pondok, akhirnya aku mencoba untuk memberanikan diri menyampaikan keinginanku ini kepada kedua orangtua ku bahwasanya aku ingin kursus bahasa inggris di Pare-kediri. Sontak suasana di malam itu pun menjadi sunyi sepi, ada rasa penyesalan yang menghantuiku. Betapa merepotkannya diriku. Mungkin saat itu orangtuaku cukup tersentak mendengar keinginanku  itu. Betapa tidak, bulan-bulan itu merupkan bulan yang sangat krusial bagi keluarga kami (meskipun pada bulan-buan yang lain tidak terlalu jauh berbeda). Membayar uang Ujian Nasional, transportasiku pulang-pergi dari Jawa-Sumatra, biaya sekolah adikku di Bogor, juga biaya hidup sehari-hari mulai dari mengisi lambung sendiri sampai dengan lambungnya sepeda motor yang dipakai usaha.Tak ketinggalan handphone pun harus diberi makanan yang bernama pulsa,sekilas nampak kurang penting,namun sangat urgen sekali guna memperlancar komunikasi. Hufth,mengherankan! Uang memang bukan segala-galanya, tapi nyatanya segala sesutu harus pakai uang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline