Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Di Balik Gertak Balik Menteri Erick

Diperbarui: 20 Juni 2020   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri BUMN Erick Thohir (Tribunnews)

"Saya nggak takut diancam-ancam. Loyalitas saya jelas karena saya pembantu beliau (Presiden)," kata Erick di Jakarta, Kamis (18/6/2020).

Begitulah ucapan Menteri BUMN Erick Thohir yang ramai diberitakan media massa. Sebuah pernyataan yang sangat keras, menyiratkan sebuah pesan bahwa Erick bukanlah sosok pejabat ‘kaleng-kaleng’.

Di sini, bukan bermaksud memuji, Erick terbilang sangat paham kapan harus bermain keras dan kapan harus melunak.

Nah, kali ini Erick memilih bermain keras. Ia tidak ingin desas-desus pemilihan calon direksi dan komisaris perusahaan BUMN berubah menjadi bola liar.

Lalu kenapa Erick tidak takut? Saya melihatnya dari sisi kemapanan ekonomi. Berdasarkan data KPK, Erick adalah menteri Jokowi yang memiliki harta sebanyak Rp 2,31 triliun. Busyet, harta sebanyak itu adalah setara dua tahun APBD Kabupaten Toba, Sumut, kampung halaman saya.

Dengan duit sebanyak itu, Erick tentunya tampil tanpa beban. Akan sangat mempengaruhi tindakannya saat memilih calon direksi dan komisaris. Boleh dibilang, nafsu untuk menerima atau mengumpulkan upeti dari pejabat akan sangat minim.

Memang betul, banyak uang tidak menjamin “kebersihan” seseorang. Tetapi paling tidak, Erick dengan duit sebanyak itu tidak lagi silau melihat amplop berisi satu dua miliar rupiah. Kecil itu alias merem. Di sinilah salah satu keunggulan Erick sebagai pejabat negara, yakni sudah sangat sulit tergoda ‘uang receh’.

Kalau bukan karena duit, lantas apa dong pertimbangan Erick menunjuk pejabat BUMN? Jawabannya mudah saja. Yakni seirama dengan menteri. Seirama itu bisa diartikan berasal dari latar belakang, kepentingan politik, dan kepentingan lain yang dianggap sama atau setidaknya mirip.

Kan aneh kalau menunjuk direksi atau komisaris dari pihak lawan. Mau menggunakan teori apapun, sungguh itu tidak masuk akal. Menunjuk lawan politik mengisi jabatan di perusahaan milik negara. Itu mirip ungkapan satu ranjang dua mimpi. Sudah satu ranjang eh mimpinya malah dua. Tidak seirama.

Sehingga bisa disimpulkan, seandainya ada pihak-pihak yang ‘menitip’ calon direksi dan komisaris kepada Erick, maka hal pertama yang dilakukan adalah memeriksa latar belakang, afiliasi politik, dan tentu saja kemampuan teknis maupun manajerial sang calon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline