Suatu malam dua bulan lalu, untuk kesekian kalinya saya menikmati betapa sepinya penumpang KRL Commuter Line. Naik dari Stasiun Cawang, saya menumpangi KRL pemberangkatan terakhir rute Jakarta Kota-Bogor. Kalau tak salah ingat, sekitar pukul 00:20. Selain saya, hanya ada satu penumpang lain yang ikut menaiki kereta.
Dari Cawang, saya menikmati betul perjalanan itu. Kosong melompong tanpa ada manusia yang berdesak-desakan. Tanpa penumpang yang pura-pura tertidur karena di depannya ada penumpang ibu-ibu paruh baya. Tanpa penumpang yang sudah terlatih berdiri tanpa harus berpegangan tangan selain mengandalkan gaya 'tempel' badan ke penumpang lain. Pokoknya serasa punya kereta sendiri. Seakan menjadi raja di sebuah gerbong khusus yang bersih dan nyaman.
Pemandangan kosong melompong memang sangat biasa terjadi di gerbong kereta, terutama pada jam malam. Atau pada rute yang "berlawanan arah" dengan mobilitas kaum urban ke Jakarta. Misalnya, rute Jakarta Kota-Bogor pada pagi hari relatif sangat sepi bila dibandingkan dengan rute sebaliknya. Begitu juga pada sore hari, rute Bogor-Jakarta Kota dipastikan sepi penumpang.
Sekarang, saya yakin pengelola KRL Commuter Line yang melayani rute di Jabodetabek pasti pusing tujuh keliling menyusul kian merebaknya virus corona. Bukan apa-apa, KRL merupakan transportasi massal yang sangat diminati publik, termasuk saya sendiri. Celakanya, rute yang kerap saya lalui yakni Depok-Jakarta Kota merupakan rute yang disebut paling rawan penyebaran corona.
Alasannya, rute Bogor-Depok-Jakarta adalah rute yang paling banyak penumpang ketimbang rute-rute lain seperti Bogor-Tanah Abang, Tanah Abang-Serpong, maupun Jakarta Kota-Bekasi. Penumpang yang membeludak itulah yang dijadikan pertimbangan bahwa virus corona akan lebih rentan menyebar. Logika yang sangat sederhana.
Lalu, bagaimana seharusnya pengelola KRL melindungi penumpangnya dari teror virus corona? Inilah pertanyaan yang paling sulit dijawab. Menurut saya, perlindungan itu hampir mustahil bisa dilakukan oleh pengelola. Bagaimana mungkin memeriksa suhu tubuh calon penumpang yang berjumlah ratusan ribu itu? Apalagi bila pemeriksaan suhu tubuh dilakukan satu per satu seperti yang kini banyak dilakukan di gedung-gedung perkantoran.
Bisa dibayangkan kericuhan yang terjadi bila pemeriksaan suhu satu per satu itu digelar pada pagi hari di Stasiun Bogor dan Depok, dan sore hari di Stasiun Jakarta Kota atau Tanah Abang. Dijamin akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi seluruh penumpang. Maka opsi ini, tanpa bermaksud membela pengelola KRL, memang sangat tidak mungkin dilakukan. Tujuannya memang baik, tetapi secara teknis hal itu sangat mustahil.
Kabar terbaru, pihak KRL akan memeriksa suhu tubuh calon penumpang secara acak (random). Nah, langkah ini jauh lebih efisien secara teknis walaupun harus diakui hasilnya tidak bisa diharapkan maksimal.
Tetapi paling tidak, pengelola KRL telah optimal dalam melindungi seluruh penumpangnya. Pengelola KRL telah berusaha keras melawan teror corona di gerbong kereta.
Sebagai penumpang, saya sangat mengapresiasi langkah pengelola KRL ini. Dari sisi penumpang, barangkali ini saatnya menunjukkan kesadaran masing-masing, agar lebih baik mengurungkan niat bepergian bila merasa kurang enak badan. Apa boleh buat, orang demam biasa saja saat ini sudah langsung dicurigai terjangkit corona. Itu menjadi bukti bahwa betapa mengerikannya virus corona di benak publik saat ini.
Dengan begitu, hanya ada dua cara melawan teror corona di gerbong kereta. Pihak KRL melakukan upaya maksimal dan penumpang wajib memiliki kesadaran tinggi untuk tidak menaiki KRL jika sedang sakit demam. Apakah mungkin KRL untuk sementara waktu menghentikan layanan operasinya?