Sebelum menuliskan soal wisata Bali yang menggiurkan itu, sebelumnya saya ingin membuat pengumuman. Empat tulisan saya di Kompasiana tercinta ini gagal menembus label 'pilihan'. Berturut-turut pula.
Jika tulisan ini mengikuti jejak pendahulunya, berarti tembus yang kelima. Admin Kompasiana sepertinya sudah layak memberikan hadiah, mungkin berupa payung atau mug. Terlalu! Semoga kali ini bisa menembus 'pilihan', syukur-syukur 'Headline'.
Bimsalabim...
Begini, sebulan lalu sebelum isu virus corona merebak, saya untuk pertama kalinya menginjak Pulau Bali. Dalam rangka tugas kerja, memang. Tetapi masih bisalah diselip-selipkan sedikit berwisata. Ternyata, menikmati sunset di Pantai Kuta sungguh dinanti-nantikan banyak wisatawan.
Saya yang sebetulnya kurang tertarik dengan wisata alam, ikut terbawa suasana. Barangkali karena pengaruh wisatawan 'bule' juga. Saya kira Anda sudah paham maksudnya, tidak perlu dituliskan di sini secara detail dan komprehensif. Takut nanti malah dituduh macam-macam.
Namun yang paling menggiurkan bagi saya adalah keleluasaan wisatawan menikmati keindahan pantai. Mereka menganggap pantai itu seperti milik sendiri. Tak ada rasa sungkan atau takut ditegur 'anak muda setempat'. Pokoknya bebas, tanpa perlu 'jaim'.
Sebagai orang yang lahir di daerah Tapanuli (Sumut) yang masih kental budaya Batak, saya merasa takjub dengan masyarakat Bali yang mampu bersikap 'cuek' dengan kedatangan wisatawan. Tidak merasa risih sama sekali. Serasa menjadi 'jagoan'.
Saya kemudian ingin membuktikan seberapa cuek masyarakat Bali. Caranya dengan melepas kaos sambil berjalan sepanjang pantai Kuta. Dilanjutkan menyusuri jalan raya di sekitar pantai, termasuk saat mengunjungi Monumen Bom Bali.
Sambil berjalan kaki bersama dua orang kolega, saya tak lupa menenteng sebuah botol minuman beralkohol kadar rendah. Saya menghitung ritual jalan kaki sembari menenteng minuman itu memakan waktu hingga 1 jam lamanya.
Tapi apa yang terjadi? Tak satupun masyarakat Bali yang terlihat tidak suka dengan gaya saya. Mereka cuek saja. Padahal saya memang sengaja bergaya seperti itu untuk mengujicoba sejauh mana tingkat 'kebebasan' wisatawan di Bali. Hasilnya, masyarakat Bali memang top markotop. Tak satupun yang protes.
Saya kemudian membayangkan jika saya melakukan itu di sekitar Danau Toba. "Bisa-bisa ada yang panggil terus ditanyain macam-macam," begitu kata saya kepada teman.