Paling menyesakkan itu kalau dituduh berbuat salah padahal kita merasa tak pernah berbuat kesalahan. Pasti kita tuntut sampai ke manapun. Bila perlu hingga ke Pengadilan Den Haag di Belanda. Bodoh amat.
Namanya juga mencari keadilan. Yang terang-benderang berbuat salah saja masih sibuk mencari keringanan hukuman. Syukur-syukur, diguyur grasi dari Presiden. Kalau sedang beruntung. Ada kan yang begitu? Ada. Apa lagi yang sama sekali merasa tak salah? Ayo, kita jabanin!
Kira-kira begitulah yang kini dialami Karen Agustiawan, mantan Dirut PT Pertamina (Persero). Bersusah-payah mencari ladang minyak di dalam dan luar negeri, eh malah dituduh korupsi.
Padahal tahu nggak, Karen itu adalah seorang pebisnis. Tahu kan yang namanya pebisnis, kalau tak untung ya rugi. Paling mentok, balik modal yang dalam hitungan bisnis juga tergolong rugi. Tapi tak rugi-rugi amat. Sesederhana itu.
Namun seorang pebisnis pasti sulit memastikan barang dagangannya ludes terjual. Walau memang, seorang pebisnis punya perhitungan tersendiri, tak sembarang menjual atau membeli barang. Ada hitung-hitungan yang rumit dan matang. Terakhir, pebisnis biasanya tak bisa lepas dari yang namanya insting alias naluri alias feeling.
Karena sifatnya tak pasti itulah tak semua orang berbakat menjadi pebisnis. Hanya orang-orang tertentu saja, yang nekat berspekulasi. Memilih untung atau rugi. Kalau betul ya untung, kalau salah ya rugi. Bila beruntung maka laba perusahaan akan terdongkrak. Pesta pora. Namun kalau sedang merugi, apakah pebisnis tersebut pantas dihakimi? Atau bahkan dituduh melakukan korupsi hanya karena perhitungannya meleset hingga menyebabkan kerugian? Namanya juga bisnis, mana ada yang pasti?
Nah, ternyata ada loh yang begitu. Karena meleset malah dituduh korupsi. Yuk, simak ceritanya.
Alkisah, PT Pertamina (Persero) pada 2009 tergiur dengan tawaran ROC Oil Company, sebuah perusahaan migas di Australia. Di sana ada blok migas bernama Basker Manta Gummy (BMG) yang dikelola oleh ROC. Pertamina ditawari untuk ikut menanam saham (participating interest/PI) di blok migas tersebut. Karena ini bisnis migas dan bukan bisnis pisang goreng, perhitungan ketat dari segi bisnis dan hukum korporasi wajib didahulukan. Tidak langsung asal beli.
Sebagai Dirut Pertamina, Karen kemudian membentuk tim akuisisi yang dipimpin oleh Manager Marger & Akuisisi Pertamina, Ir Bayu Kristanto dan dibantu oleh konsultan hukum eksternal yaitu Baker Mc Kenzie, serta konsultan keuangan dari Delloite Konsultan Indonesia. Tugasnya, mengkaji seluruh dokumen akuisisi baik dari aspek hukum maupun dari aspek bisnis. Hasilnya, menarik dari segi bisnis dan tidak bermasalah dari segi korporasi. Semuanya beres. Dewan Komisaris Pertamina pada 30 April 2009 juga telah menyatakan setuju.
Pertamina dan ROC akhirnya mencapai kesepakatan. Pertamina mengakuisisi (PI) sebesar 10% atas blok BMG senilai USD 30 juta. Penandatanganan SPA (Sales Purchasing Agreement) dijadwalkan pada 27 Mei 2009 di Sidney Australia antara Pertamina Hulu Energi (PHE) anak usaha Pertamina dengan ROC. Ironisnya, pada tanggal yang sama yakni 27 Mei 2009, Dewan Komisaris Pertamina berkirim surat kepada Dewan Direksi Pertamina, yang intinya menolak akuisisi 10% Blok BMG.
Dewan Komisaris menyatakan persetujuan sebelumnya hanyalah untuk penawaran (bidding) belaka, yang tujuannya hanya untuk melatih keterampilan SDM Pertamina dalam melakukan bidding. Lagipula, sambung Komisaris, cadangan produksi Blok BMG relatif kecil sehingga tidak terlalu signifikan menambah jumlah cadangan dan produksi minyak nasional. Di sinilah titik awal persoalan. Bahwa Direksi tetap menjalankan rencana bisnisnya yakni membeli 10% saham BMG, walau Komisaris memilih mundur di tengah jalan.