Anda tergolong keluarga miskin? Siap-siaplah anak Anda ketika dewasa nanti juga akan cenderung miskin. Kemudian, cucu dari anak Anda yang miskin itu, ikut bernasib sama.
Cenderung miskin. Begitu seterusnya. Jadi, kalau saat ini Anda merasa miskin, coba cek keluarga Anda, jangan-jangan miskin juga. Kalau betul, Anda tidak perlu menyalahkan diri sendiri lantaran tak mampu mengubah garis tangan. Apa boleh buat, memang sudah begitu dari "sononya".
Begitulah kesimpulan berita yang ditayangkan di Kompas.com, berjudul 'Di Indonesia, Anak Miskin akan Tetap Miskin Ketika Dewasa'. Kesimpulan tersebut berasal dari sebuah penelitian panjang, bukan sekadar pengamatan belaka seperti di saat musim pilkada. Kesimpulan itu ditemukan peneliti dari Smeru Research Institute lewat penelitian berjudul Effect of Growing up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia, yang dipublikasikan oleh Asian Development Bank Institute.
"Anak yang pada usia 8-17 tahun hidup dalam kemiskinan, ketika bekerja pendapatannya akan 87 persen lebih rendah dari mereka yang kecilnya tidak miskin," begitu kesimpulan penelitian tersebut.
Ternyata, dalam penelitian itu, anak yang semasa kecil mengalami kemiskinan akan cenderung kesulitan memperoleh pekerjaan bagus. Berbeda dengan anak yang berasal dari keluarga tidak miskin, yang pada saat dewasa cenderung memperoleh pekerjaan lebih mapan.
Selisih pendapatan anak miskin ketika dewasa sangat timpang dengan pendapatan anak tidak miskin ketika dewasa. Yakni, sekitar 91 persen. Luar biasa. Itu artinya, jika anak miskin bergaji Rp 1 juta maka anak tidak miskin bisa bergaji mencapai Rp 10 juta, ketika mereka sama-sama dewasa nantinya.
Sebelumnya, mari kita lihat indikator seseorang dikatakan miskin. Berdasarkan data BPS per Maret 2019, batas garis kemiskinan adalah Rp425.250 per kapita per bulan. BPS menyimpulkan, jika rata-rata satu rumah tangga di Indonesia memiliki 4 hingga 5 anggota keluarga, maka garis kemiskinan rata-rata secara nasional menjadi sebesar Rp1.990.170 per rumah tangga. Dengan demikian, jika terdapat rumah tangga yang memiliki pendapatan di bawah nominal tersebut, artinya masuk ke dalam kategori miskin.
Sekarang, kita beranjak pada total keluarga miskin di Indonesia. Masih menurut data BPS per Maret 2019, angka kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 9,41% atau setara 24,14 juta orang. Berarti, terdapat sebanyak 24 juta penduduk Indonesia yang berpenghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan. Mereka inilah yang masuk dalam kategori miskin, yang ironisnya, anak-anak mereka akan cenderung tetap miskin saat dewasa.
Kabar buruknya lagi, masih mengutip penelitian Smeru Research Institute, mereka yang berpenghasilan tinggi saat dewasa bukan karena memiliki keahlian lebih. Sebab faktanya, anak-anak miskin yang punya keahlian lebih, nyatanya tidak memiliki pendapatan tinggi saat dewasa. Dengan kata lain, anak orang kaya yang tidak punya keahlian akan cenderung lebih kaya ketimbang anak miskin yang memiliki keahlian lebih. Satu lagi, kabar buruk ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lain.
Sebetulnya, saya tidak setuju dengan hasil penelitian ini karena rawan mematahkan semangat anak-anak dari keluarga miskin. Namun begitu, penelitian ini harus tetap dihargai dan dihormati sebagai sebuah produk akademik. Bukan tahyul atau magic. Hanya saja, saya prihatin membayangkan nasib 24 juta keluarga Indonesia yang masih hidup di garis kemiskinan. Kelak, anak-anak mereka juga akan mengalami nasib serupa seperti ayah dan ibunya. Tetap miskin ketika sudah dewasa.
Menurut penelitian ini, sekeras apapun anak-anak keluarga miskin berusaha akan cenderung miskin saat dewasa. Berbeda dengan anak-anak keluarga tidak miskin, yang malah mempunyai kesempatan lebih besar menikmati kekayaan di saat besar nanti. Sekalipun, mereka tak punya keahlian lebih. Di sinilah letak "ketidakadilan" dari penelitian ini. Bahwa keluar dari jerat kemiskinan itu bukan persoalan gampang bila Anda memang dilahirkan di keluarga miskin.