Jeruk Medan, itu nama yang umum diketahui. Berukuran sekepal tangan orang dewasa dan yang pasti rasanya sangat manis. Kulitnya mengkilap walau tak dilapisi lilin. Harganya? Tetap terjangkau. Ratusan ton jeruk itu diekspor ke berbagai kota khususnya Jakarta dan sekitarnya.
Jeruk tersebut diangkut menggunakan truk-truk besar hingga tiba di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Dari Medan ke Jakarta butuh waktu setidaknya 2 hari 2 malam.
Menembus jalanan Sumatera lalu menyeberang di Selat Sunda. Dari Pasar Induk, jeruk-jeruk itu (juga buah dan sayuran lain) selanjutnya didistribusikan ke pedagang eceran hingga sampai ke tangan pembeli.
Tetapi tahukah Anda, sesungguhnya tak ada petani jeruk di Medan, ibu kota Provinsi Sumut. Pohon jeruk saja sulit ditemukan, paling hanya satu-dua di antara pekarangan rumah penduduk.
Itu pun, kalau berbuah, rasanya kurang manis. Jarang dicicipi kecuali untuk pelengkap bumbu masak. Misalnya, bumbu masak untuk ikan mas. Lalu, kok disebut Jeruk Medan? Begini ceritanya.
Aslinya, jeruk itu berasal dari Tanah Karo, wilayah kabupaten yang tak jauh dari Medan. Dari sekitar wilayah Gunung Sinabung, yang belakangan rajin 'batuk-batuk'. Di sanalah kita bisa menyaksikan lahan tanaman jeruk yang teramat luas.
Mayoritas penduduknya memang bertani jeruk, selain tanahnya subur juga didukung iklim yang dingin pula. Sangat cocok untuk bertanam jeruk. Suburnya tanah di wilayah itu salah satunya berasal dari erupsi Sinabung, yang terjadi ratusan tahun silam.
Ujung Bawang, merupakan salah satu daerah di Tanah Karo yang dikenal sebagai penghasil jeruk. Kebetulan, mertua saya berasal dari kampung ini. Akhir 2018 lalu, saya diajak berkunjung ke sana. Melihat sisa-sisa kejayaan tanaman jeruk miliknya.
Dari Medan, dibutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk tiba di Ujung Bawang, bersuhu dingin dengan hamparan tanaman jeruk dan kopi. Di sana saya menyaksikan jeruk dan kopi ternyata bisa juga ditanam berdekatan.
Ini sangat berbeda dengan petani kopi di wilayah Tapanuli, khususnya di kampung saya. Di Tapanuli, saya belum pernah melihat tanaman kopi yang juga "disisipi" tanaman lainnya seperti jeruk. Alhasil, petani kopi hanya bisa mengharapkan panen kopi. Semoga saja petani di Tapanuli tak segan meniru gaya bertani ala orang Karo.
Sekarang mari kembali ke jeruk. Menurut cerita mertua, masa kejayaan tanaman jeruknya berlangsung dari tahun 1990 hingga 2000-an. Saat itu, hasil sekali panen jeruk bukan lagi ratusan kilogram. Tetapi berton-ton.