Ini kabar penting. Harga rokok akan naik mulai Januari 2020. Dari berita yang saya baca, kenaikannya mencapai 35%.
Perkiraan itu muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan PMK Nomor 152/PMK.010/2019 tentang tarif cukai hasil tembakau. Disebutkan dalam PMK itu, harga cukai rokok naik rata-rata 21,55%.
Biar lebih gampang, mari kita buatkan ilustrasi saja. Misalnya harga rokok A saat ini adalah Rp 20 ribu, maka nanti di Januari 2020, harganya berada di kisaran Rp 25-26 ribu. Atau mengalami kenaikan Rp 5 ribu hingga Rp 6 ribu. Kira-kira begitu.
Sebagai perokok aktif, saya merasa kenaikan harga rokok ini tidak ada masalah. Kenapa? Karena saya sudah bersiap 'turun kelas'.
Maksudnya, mengganti jenis rokok dari merek A ke merek B. Tentu dengan harga yang lebih murah. Kan banyak tuh jenis rokok yang baru, yang namanya belum terlalu populer. Jadi mau dinaikkan kek, saya biasa saja. Terserah pemerintah saja.
Bagi perokok lain, mungkin berhenti total menjadi pilihan. Saya pun sebetulnya ingin berhenti tapi belum berhasil. Dengan berhenti merokok, otomatis pengeluaran membeli kandungan nikotin menjadi tidak ada. Badan lebih sehat.
Jujur, merokok memang buruk untuk kesehatan fisik. Saya akui itu. Tetapi saya kurang setuju kalau dengan berhenti merokok maka kesejahteraan ikut meningkat.
Rasanya terlalu berlebihan bila dikaitkan dengan akan menebalnya isi dompet. Kecuali, belanja rokok dalam sebulan bisa mencapai Rp 3 juta, misalnya.
Kalau masih di rentang Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta, menurut saya masih biasa-biasa saja. Ini menurut saya loh, yang punya banyak teman perokok dan bukan perokok.
Menurut pengamatan saya, tidak ada relevansi perokok dan bukan perokok ke tingkat kesejahteraan. Ada yang perokok tapi tetap makmur, ada juga yang tak pernah merokok tetapi hidupnya serba kekurangan.