Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Jokowi (Bukan) Kurang Kerjaan

Diperbarui: 29 Agustus 2019   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Tribunnews.com

Tadi malam, saat berbincang santai dengan seorang tetangga, ia bercelutuk: "Jokowi kurang kerjaan kali ya makanya pindahin Ibu Kota. Kenapa nggak bangun daerah saja, kan sama saja. Kalau daerah udah rapi semua, orang juga nggak akan datang ke Jakarta. Otomatis Jakarta sepi, nggak macet parah kayak sekarang."

Sekilas, betul juga kata teman ini. Cocok juga dengan komentar sejumlah tokoh negeri ini. Sebut saja Din Syamsuddin, Dahlan Iskan, dan yang terakhir jangan sampai lupa: Fadli Zon. Lebih baik urus Papua dulu ketimbang pindah Ibu Kota, komentar Din. Sementara Dahlan menyindir karena pemindahan "Jakarta" dilakukan tergesa-gesa, tanpa melibatkan publik. Nah, kalau Fadli sudah pasti tahu sama tahu. Ia memilih kata yang lebih pedas lagi, yakni amatir.

Karena tidak tahu lagi harus menjawab apa, saya kemudian langsung meloncat ke kesimpulan akhir. Bahwa pemindahan Ibu Kota merupakan upaya Jokowi untuk menciptakan sebuah sejarah bagi Indonesia. Jokowi ingin sekali meninggalkan "legacy" kepada bangsa ini. Yakni sebagai Presiden yang berani mengeksekusi wacana yang telah puluhan tahun bergulir tak jelas. Sejak era Bung Karno.

Bagi saya, jawaban seperti itu sudah final. Tidak ada lagi celah untuk mengkritik.

Bayangkan kalau saya menjawab bahwa pemindahan itu dilakukan karena padatnya penduduk di Jakarta. Teman itu sudah pasti membantah lagi, kalau kepadatan Jakarta merupakan bukti kegagalan pemerintah membangun daerah. Kalau sudah makmur di daerah, buat apa merantau ke Jakarta? Justru kepadatan Jakarta mencerminkan tidak adanya lapangan kerja di daerah. 

Nah, tugas pemerintah seharusnya menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya di daerah. Bukan malah memindahkan Ibu Kota. Kalau kata Ahok (dulu), itu lari dari masalah namanya. Sekarang komentar itu sudah direvisi Ahok sendiri. Ya sudah, itu hak Ahok.

Tetapi teman tadi tetap pada pendiriannya. Bahwa Jokowi memang sedang kurang kerjaan. Komentarnya pun melebar. Kenapa tidak beresin BPJS Kesehatan yang iurannya akan naik lantaran defisit terus. 

Merasa tidak punya pembelaan lagi, saya lagi-lagi menegaskan bahwa aksi Jokowi kali ini merupakan keputusan politik. Jadi sulit membahasnya dari persoalan teknis semata. Yang namanya ingin meninggalkan jejak sejarah yang "wah" memang harus begitu. Berani mengambil keputusan terberat sekalipun.

Nanti, apakah pemindahan Ibu Kota berjalan mulus atau malah mangkrak akibat kekurangan biaya atau alasan lain, Jokowi tidak akan menyesal lagi sebagai pemimpin. Pasalnya, ia sudah berani membuat keputusan, bukan sekadar kompromi sana-sini demi melanggengkan kekuasaan. Jokowi memang tak ingin dicap sebagai Presiden yang biasa-biasa saja, tetapi seorang Presiden yang visioner terhadap masa depan bangsanya.

Tapi teman tadi tetap ngotot. Menurutnya, Jokowi hanya kurang kerjaan saja. Saya pun begitu, merasa Jokowi bukan sedang kurang kerjaan, tetapi hanya ingin mengukir sejarah. Itu dua hal berbeda, walaupun memang terkesan ada kemiripan. 

Bukankah sejarah selalu ditulis oleh para pemenang? Dan, dosen saya pernah berkata bahwa sejarah yang ditulis sudah pasti "bengkok". Tidak ada sejarah yang "lurus". Itu tadi, karena sejarah selalu ditulis para pemenang. Jadi, ya suka-suka pemenang dong menulis sejarah mau seperti apa. Namanya juga pemenang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline